Jakarta, CNN Indonesia --
China mulai aktif menggembar-gemborkan perdamaian terhadap konflik Rusia dan Ukraina.
Melalui 12 poin gagasan yang dirilis pada 24 Februari, tepat setahun invasi Rusia di Ukraina, Beijing ingin kedua negara itu segera melakukan dialog damai.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Semua upaya yang kondusif bagi penyelesaian krisis secara damai harus didorong dan didukung. Komunitas internasional harus tetap berkomitmen pada pendekatan yang tepat dalam mempromosikan pembicaraan untuk perdamaian," bunyi poin dialog damai dalam gagasan China.
"China akan terus memainkan peran konstruktif dalam hal ini."
Selain dialog damai, China juga ingin Rusia-Ukraina menyelesaikan sejumlah persoalan di antaranya melakukan gencatan senjata, menyelesaikan krisis kemanusiaan, hingga memberikan perlindungan warga sipil dan tawanan perang.
[Gambas:Video CNN]
Selain itu, China lewat gagasannya juga ingin kedua negara memberikan perlindungan terhadap PLTN, melarang pemakaian senjata nuklir, memfasilitasi pengiriman bahan pangan, menghentikan sanksi, menjaga stabilitas ekonomi, dan melakukan resolusi pasca-konflik.
Akankah gagasan ini membuat Rusia tergerak menyetop peperangan di Ukraina?
Pengamat hubungan internasional dari Universitas Padjajaran, Teuku Rezasyah, mengatakan Rusia saat ini berada dalam posisi "maju kena mundur kena".
Rezasyah berujar banyaknya negara yang kini bersimpati dengan Ukraina, termasuk China, membuat Moskow makin terjepit untuk segera menarik diri dari Ukraina, sesuai tiga resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di mana mayoritas negara global mendesak Kremlin angkat kaki.
Meski begitu, menurut Rezasyah, dengan penerbitan gagasan China, Rusia lebih memilih untuk menjaga jarak dengan Beijing karena tak mau memposisikan Negeri Tirai Bambu sebagai "pengatur perdamaian".
"Rusia juga menjaga jarak dengan China karena tak mau menempatkan China sebagai pengatur perdamaian, sehingga memperburuk citra internasional Rusia," kata Rezasyah kepada CNNIndonesia.com.
Rezasyah pun menilai saat ini yang bisa dilakukan Rusia hanyalah menerapkan "Exit Strategy yang elegan" di Ukraina.
"Rusia membutuhkan Exit Strategy yang elegan. Yakni semua tuntutan geopolitiknya terpenuhi, kesempatan menyatakan dirinya sebagai pemenang, dan kepastian Ukraina tidak akan pernah masuk NATO," ucapnya.
Selain itu, Rezasyah mengatakan gagasan yang disodorkan China akan sulit diterima dunia, meski terkesan amat ideal.
Sebab, China menurutnya punya ambisi hegemonik ketimbang murni ingin kedua negara pecahan Uni Soviet itu akur lagi.
"Dua belas ide China sangatlah ideal. Namun sulit diterima dunia karena disampaikan oleh China yang memiliki ambisi hegemonik di tingkat dunia," ucap Rezasyah.
Berlanjut ke halaman berikutnya >>>
Posisi Rusia tak nyaman
Senada, profesor hubungan internasional dari Universitas Pelita Harapan, Aleksius Jemadu, mengatakan proposal damai China membuat posisi Rusia menjadi "tidak nyaman".
Hal itu lantaran Moskow mesti berjuang sendirian akibat ambisi Beijing yang ingin menguatkan posisinya sendiri di kancah global, setelah tersandera perang yang berlarut-larut.
"[Presiden China] Xi Jinping ingin proyek globalnya tuntas untuk legitimasi politik dalam negeri dan juga untuk menunjukkan bahwa China bisa ambil inisiatif untuk perdamaian dunia di tengah jalan buntu yang terjadi sekarang ini," kata Aleksius kepada CNNIndonesia.com.
Ia kemudian berujar, "Kelanjutan perang di Ukraina tidak memberi manfaat strategis yang berarti buat China, malah bisa dianggap sebagai pendukung agresor oleh mayoritas anggota PBB yang di MU (majelis umum) sudah mendukung penolakan terhadap invasi Rusia. Sejauh apa Rusia memperhitungkan saran China masih terlalu pagi untuk menilainya."
Kendati demikian, Aleksius menilai China punya potensi yang signifikan untuk mendamaikan Rusia-Ukraina. Sebab negara itu mampu menjangkau Moskow dan Kyiv di saat negara-negara Barat tak mampu karena ditolak Rusia.
"China punya potensi yang signifikan karena bisa menjangkau Rusia dan Ukraina. Jika China bisa menggunakan jasa baik ini, maka pengaruh diplomatik China akan meningkat drastis dan menjadi legitimasi untuk global prominence-nya," kata Aleksius.
"Selain itu, China bisa bersikap nothing to lose, bahkan menciptakan pengaruh baginya untuk revisi tatanan regional di Eropa."
Barat tak dukung Proposal China
Berbeda dengan Aleksius, pengamat dari Universitas Gadjah Mada, Muhadi Sugiono, justru skeptis China mampu mendamaikan kedua negara pecahan Soviet itu.
Muhadi berpandangan gagasan China seyogyanya perlu disetujui negara-negara lain. Namun, seperti yang diketahui, Barat merespons inisiatif Beijing dengan "dingin".
Hal itu salah satunya diutarakan oleh Sekjen NATO Jens Stoltenberg yang menyebut 12 poin gagasan China "tak kredibel" karena Beijing "belum bisa mengutuk invasi ilegal (Rusia) ke Ukraina".
Meski begitu, Muhadi mengatakan saat ini China perlu membuktikan langkah praktis apa yang akan mereka lakukan dari proposal tersebut. Beijing perlu menindaklanjuti proposalnya itu sebelum dunia mempertimbangkan peran China sebagai 'juru damai'.
"Apakah Cina mampu menjadi juru damai, tentu saja tidak bisa dengan mudah dijawab saat ini. Kita perlu tahu lebih jauh tindak lanjut praktis dari proposal Cina tersebut," ucap Muhadi.
"Dan, yang tidak bisa diabaikan, dukungan negara-negara lain terhadap proposal tersebut sangat menentukan."
China sebelumnya menyodorkan 12 poin gagasan untuk menyelesaikan perang Rusia dan Ukraina. Gagasan itu dirilis setelah negara itu menjadi sorotan karena dituding berniat membantu Rusia menginvasi Ukraina.
Melalui gagasan itu, Beijing membantah dan menegaskan posisinya yang menjunjung perdamaian.
Gagasan itu pun direspons sama baik oleh Ukraina maupun Rusia. Kedua negara sepakat bakal mempertimbangkan proposal Xi Jinping.
Kendati demikian, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky menegaskan Ukraina akan mempertimbangkan jika Rusia menarik seluruh pasukan dari negaranya. Dia juga mengaku berencana bertemu Xi untuk membahas soal itu.
Sementara itu, juru bicara Kepresidenan Rusia, Dmitry Peskov, mengatakan Moskow memperhatikan dengan seksama gagasan Beijing dan akan menganalisanya. Namun Rusia, ujarnya, bakal tetap melanjutkan invasi guna mencapai tujuan mereka.
"Setiap upaya untuk menghasilkan rencana yang akan membawa konflik ke jalur perdamaian patut mendapat perhatian. Kami mempertimbangkan gagasan mitra kami, China, dengan perhatian besar," kata Peskov seperti dikutip TASS, Senin (27/2).
"Tapi, kami ulangi sekali lagi bahwa untuk saat ini kami tidak melihat prasyarat untuk menempatkan masalah ini di jalur perdamaian. Operasi militer khusus berlanjut. Kami bergerak menuju tujuan yang sudah ditetapkan," paparnya menambahkan.