Justru sebaliknya, Saudi memilih rujuk dengan Iran karena ingin mencari ketenangan dan kenyamanan, sambil melanjutkan pembangunan di negaranya.
'Ketenangan' yang diinginkan Saudi juga tidak lepas dari berkurangnya hegemoni Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengamat Timur Tengah dari Universitas Indonesia Yon Machmudi menjelaskan, ketika AS memutuskan untuk mulai menarik diri dan mengurangi hegemoni di kawasan Timur Tengah, akan berpotensi kepada ketidakstabilan.
Dalam kasus ini, Saudi khawatir akan muncul rezim-rezim yang akan mengambil keuntungan dan menyebabkan ketidakpastian, seperti Iran.
"Maka pilihan pragmatis dari Saudi ketika tidak bisa mengandalkan proteksi dari luar termasuk AS, maka cara terbaik adalah melakukan normalisasi (dengan Iran). Tujuannya agar ketidakstabilan regional bisa dikurangi," kata Yon kepada CNNIndonesia.com.
Yon menyebut, Israel kemungkinan akan tetap berjuang untuk menjadikan Iran sebagai ancaman serius di kawasan Timur Tengah. Salah satunya adalah lewat tuduhan serangan-serangan oleh kelompok yang disponsori Iran.
"Saya membaca tindakan provokatif Israel ingin mengundang militer yang ada di Palestina hingga Lebanon, agar melakukan balasan militer. Dengan begitu, ada justifikasi Israel untuk melakukan serangan yang lebih besar," ungkap Yon.
Israel diperkirakan akan menarik simpati dunia internasional setelah 'dikeroyok' oleh rudal-rudal yang dianggap didukung oleh Teheran.
"Bisa saja mereka (Israel) akan meminta dukungan Uni Eropa baik itu Inggris, Prancis maupun negara-negara UE lain. Jadi saya kira Israel akan mencoba mengalihkan masalahnya kepada ancaman Iran," kata Yon.
(dna)