Sejumlah negara di Afrika mengalami gonjang-ganjing kudeta tiga tahun belakangan ini.
Kudeta tersebut kebanyakan dilakukan militer yang ingin menumbangkan pemerintahan hasil pemilu. Pada Rabu (30/8) lalu, dunia kembali dihebohkan dengan kudeta militer yang terjadi di Gabon, negara Afrika Bagian Tengah.
Kudeta ini terjadi tak lama setelah peristiwa penyanderaan Presiden Niger oleh tentara sipil.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fenomena kudeta di Afrika terjadi dengan sejarah politik yang berbeda. Para pemberontak pun semakin ahli dalam mempertahankan kekuasaannya dan menghindari tekanan luar negeri.
Foreign Policy Research Institute menganalisis bahwa pengalaman kudeta yang berulang kali terjadi membuat para pemberontak menormalisasi praktik kudeta, baik di tingkat nasional maupun regional.
Lalu, negara apa saja di Afrika yang mengalami peristiwa kudeta dalam tiga tahun terakhir?
Mali mengalami dua kali kudeta militer pada Agustus 2020 dan Mei 2021. Kudeta pertama pada 2020 dimulai dengan ditangkapnya presiden Ibrahim Boubacar Keita oleh Angkatan Bersenjata Mali (MAF).
Para pemberontak menuduh pemerintahan Keita melakukan korupsi, perekonomian yang kian memburuk, dan ketidakbecusan pemerintah mengatasi dampak COVID-19, sehingga layak untuk digulingkan. Dilansir dari Aljazeera, pemberontakan ini mengakibatkan 11 orang meninggal dunia dan 124 orang luka-luka.
Kudeta kedua pada 2021 terjadi setelah ditangkapnya para petinggi pemerintahan Mali, yaitu, Presiden Bah N'daw, Perdana Menteri Moctar Quane, dan Menteri Pertahanan Souleymane Doucoure.
Wakil Presiden Mali sementara, Kolonel Assimi Goita, menyatakan telah berhasil merebut kekuasaan dari presiden setelah gagal melakukan negosiasi terkait pembentukan pemerintahan baru, dikutip dari The Guardian.
Kudeta kedua ini memantik reaksi dunia internasional. Para pemimpin Uni Eropa, Uni Afrika, dan Amerika mengutuk aksi militer yang menahan dan mengasingkan para pejabat pemerintah Mali.
Guinea adalah negara di Afrika Barat yang juga mengalami kudeta pada 2021 saat Presiden Alpha Conde ditangkap oleh angkatan bersenjata Guinea. Dalam peristiwa kudeta ini, sempat terjadi aksi baku tembak di ibu kota Guinea, Conakry.
Kudeta ini adalah bentuk dari kekecewaan akan Presiden Conde atas regulasi ekonominya yang semakin menyengsarakan masyarakat dan keinginannya untuk terus memperpanjang masa jabatan.
Pada Agustus 2021 pemerintahan mengumumkan kenaikan pajak, memangkas keuangan militer dan kepolisian, serta menambah anggaran presiden. Regulasi tersebut memancing kemarahan banyak pihak hingga terjadi pemberontakan.
Amnesty International melaporkan setidaknya terdapat 50 orang korban jiwa dalam peristiwa pemberontakan dan kudeta di Guinea.
Pemerintahan Guinea untuk sementara diambil alih oleh pemimpin militer, Mamady Doumbouya. Mamady menyampaikan pidato dalam siaran televisi bahwa transisi pemerintahan menuju kepemimpinan sipil akan memakan waktu 39 bulan, dikutip dari Deutsche Welle.
Kudeta kembali dilakukan oleh pemimpin militer pada 2021. Kali ini, kudeta terjadi di Sudan, Afrika Bagian Utara yang dipimpin oleh Jenderal Abdel Fattah al-Burhan.
Dilansir dari The Guardian, militer Sudan berhasil merebut kekuasaan setelah menahan beberapa politisi sipil terkemuka dan perdana menteri, Abdallah Hamdok.
Militer mengumumkan keadaan darurat Sudan ketika ribuan orang turun ke jalan untuk melakukan unjuk rasa di sekitaran Khartoum sebagai kelompok oposisi.
Pasukan militer Sudan menindak tegas masyarakat yang melakukan demonstrasi. Lebih dari 20 orang tewas dan ratusan orang luka-luka atas aksi penembakan serta pemukulan oleh para aparat. Para saksi mata di distrik Bari, Khartoum mengatakan pasukan militer juga menembakkan gas air mata ke arah demonstran yang memprotes, dikutip dari Aljazeera.
Lanjut baca di halaman berikutnya...