Pemerintah Israel dikabarkan sedang berdiskusi dengan pemerintah Sudan Selatan mengenai kemungkinan merelokasi warga Palestina dari Jalur Gaza ke negara Afrika Timur tersebut.
Enam orang yang mengetahui diskusi tersebut mengonfirmasinya ke Associated Press (AP).
Belum diketahui sejauh mana progres perundingan itu. Namun, jika dilaksanakan, rencana tersebut sama saja dengan memindahkan warga yang sudah menderita karena perang di Gaza ke wilayah lain yang juga dilanda perang dan krisis kelaparan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan dalam wawancara dengan saluran televisi Israel i24 bahwa dirinya ingin mewujudkan visi Presiden Amerika Serikat Donald Trump untuk memindahkan sebagian besar penduduk Gaza melalui "migrasi sukarela".
"Saya pikir hal yang benar untuk dilakukan, yang bahkan juga diatur dalam hukum perang yang saya ketahui, adalah membiarkan penduduk pergi, lalu masuk dengan sekuat tenaga melawan musuh yang masih ada di sana," kata Netanyahu, seperti dikutip CNN.
Netanyahu pada kesempatan itu tidak menyebutkan sama sekali mengenai Sudan Selatan. Terlepas dari itu, Israel dikabarkan sudah mengajukan proposal relokasi serupa ke negara-negara Afrika lain.
Palestina, berbagai kelompok hak asasi manusia, serta mayoritas masyarakat internasional telah menolak usulan merelokasi warga Gaza. Rencana itu dinilai sama dengan pengusiran paksa yang jelas-jelas melanggar hukum internasional.
Sebagian besar warga Gaza kompak menyatakan tak akan meninggalkan wilayah kantong tersebut meski harus meregang nyawa. Sebagian kecil lain, mungkin ingin meninggalkan Gaza namun hanya untuk sementara guna mendapatkan pengobatan serta menyudahi krisis kelaparan.
Meski begitu, warga yang ingin pergi tetap meragu karena khawatir bahwa Israel tak akan mengizinkan mereka kembali dan bahwa kepergian mereka akan memungkinkan Israel mencaplok Gaza sepenuhnya dan membangun permukiman Yahudi seperti yang selalu diminta menteri sayap kanan Israel.
Jika ingin tetap pergi pun, warga Gaza tak mungkin mengambil risiko tinggal di Sudan Selatan yang notabene salah satu negara paling tidak stabil dan paling dilanda konflik di dunia.
Sudan Selatan sejak lama berjuang untuk lepas dari perang saudara yang telah meletus pasca kemerdekaan. Perang saudara itu telah menewaskan nyaris 400.000 orang dan membuat sejumlah wilayah dilanda krisis kelaparan.
Negara kaya minyak ini dilanda korupsi dan bergantung pada bantuan internasional untuk bisa memberi makan 11 juta penduduknya. Masalah ini telah menjadi tantangan besar sejak pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump melakukan pemotongan besar-besaran terhadap bantuan untuk asing.
Tujuh tahun lalu, kesepakatan damai tercapai di Sudan Selatan. Namun, kesepakatan itu rapuh dan ancaman perang muncul kembali setelah pemimpin oposisi utama dijadikan tahanan rumah tahun ini.
Di samping masalah itu, ada pula ancaman permusuhan yang bisa saja meletus karena histori perbedaan keyakinan. Perang panjang untuk kemerdekaan dari Sudan telah mengadu domba wilayah Selatan yang mayoritas Kristen dan animisme, dengan wilayah utara yang mayoritas Arab dan Muslim.
Edmund Yakani, pemimpin kelompok masyarakat sipil Sudan Selatan, menegaskan warga negaranya perlu tahu siapa yang akan datang dan berapa lama mereka akan tinggal karena jika tidak bisa jadi ada permusuhan karena "masalah historis dengan Muslim dan Arab".
"Sudan Selatan seharusnya tidak menjadi tempat pembuangan orang. Dan tidak seharusnya menerima orang sebagai alat negosiasi untuk memperbaiki hubungan," tukasnya.
Bagi Sudan Selatan, bersepakat dengan Israel untuk menerima warga Gaza memang akan membantunya membangun hubungan yang lebih erat dengan Negeri Zionis, yang kini jadi salah satu kekuatan militer yang hampir tak tertandingi di Timur Tengah.
Joe Szlavik, pendiri firma lobi AS yang bekerja sama dengan Sudan Selatan, mengaku telah diberi pengarahan oleh pejabat negara Afrika Timur itu mengenai pembicaraan dengan Israel.
Ia mengatakan delegasi Israel berencana mengunjungi negara tersebut untuk menjajaki kemungkinan pembangunan kamp bagi warga Palestina di sana. Szlavik berujar Israel kemungkinan akan membangun kamp-kamp darurat untuk warga Gaza.
Tanggal kunjungan delegasi Israel ini belum diketahui. Israel tidak menanggapi pertanyaan mengenai kunjungan tersebut.
Pada Rabu (13/8), Wakil Menteri Luar Negeri Israel Sharren Haskel dilaporkan datang ke Sudan Selatan sebagai bagian dari delegasi resmi Israel. Namun, kantornya menyatakan kunjungan Haskel ke Sudan Selatan tidak untuk membahas rencana relokasi warga Gaza.
Menurut keterangan Yakani, pihaknya telah bicara dengan para pejabat Sudan Selatan mengenai perundingan soal relokasi warga Gaza. Empat pejabat lain yang mengetahui soal pembicaraan juga secara anonim mengonfirmasi bahwa perundingan sedang berlangsung.
Kementerian Luar Negeri Sudan Selatan sementara itu membantah laporan bahwa pihaknya terlibat dalam diskusi dengan Israel untuk memindahkan warga Gaza.
Menurut Szlavik, pemerintah AS tahu soal diskusi yang dilakukan Israel dan Sudan Selatan. Kendati demikian, AS tidak terlibat secara langsung.
Sudan Selatan disebut ingin pemerintahan Trump mencabut larangan perjalanan dan menghapus sanksi terhadap sejumlah elite di negara itu.
"Sudan Selatan yang kekurangan uang membutuhkan sekutu, keuntungan finansial, dan keamanan diplomatik apa pun yang bisa didapatkannya," kata Peter Martell, jurnalis dan penulis buku tentang negara tersebut berjudul First Raise a Flag.
Dalam buku itu, disebutkan bahwa badan intelijen Israel Mossad telah memberikan bantuan kepada Sudan Selatan dalam perang saudaranya selama puluhan tahun yang melawan pemerintah yang didominasi Arab di Khartoum menjelang kemerdekaan pada 2011.
Kementerian Luar Negeri AS menolak berkomentar.
(blq/dna)