Yoko Sari
Yoko Sari
Mengawali karir sebagai wartawan di harian The Jakarta Post, meniti karirnya lebih lanjut di BBC Indonesia. Kini menjadi pemimpin redaksi cnnindonesia.com
KOLOM

SBY, Antara Partai Demokrat dan Seorang Ayah

yokosari | CNN Indonesia
Kamis, 16 Feb 2017 07:55 WIB
Kekalahan AHY kali ini dikarenakan ketidakmampuan sang ayah menahan diri melindungi sang anak yang masih hijau di panggung politik.
Agus Harimurti Yudhoyono bersama istri, Annisa Pohan. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Pilkada rasa pilpres. Pernyataan ini seringkali didengungkan banyak kalangan, mulai dari pakar hingga warga biasa, ketika mencoba menganalisis Pilkada DKI Jakarta 2017.

Pernyataan ini bisa diterima ketika pertarungan antara tiga pasangan calon diwarnai perseteruan politik tingkat nasional. Meski perseteruan itu pada awalnya begitu halus dimainkan.

Adalah Presiden ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang pertama kali membuka 'pertempuran' di tingkat elite politik sehingga warga biasa mulai meraba bahwa pertempuran politik tingkat tinggi itu memang ada.

Setidaknya hal itu yang ingin dihembuskan SBY karena saat ini pemerintah tidak pernah menanggapi dengan jelas tudingan-tudingan yang dilancarkan.

Saya lebih suka mencoba membicarakan motif SBY di balik pertempuran ini, dibanding cara-cara yang dituding dilakukan pihak yang bersaing itu.

Bagi saya, cara-cara yang digunakan hanyalah bagian dari proses demokrasi untuk menuju ke masyarakat yang lebih dewasa menyikapi perbedaan pendapat. Menumbuhkan sikap sepakat untuk tidak sepakat.
SBY menjadi sorotan menarik karena begitu banyak pernyataan yang menyebut dia seharusnya menjadi negarawan seperti mantan Presiden BJ Habibie, misalnya—yang menjadi tokoh penenang dan penengah di panggung politik Indonesia.
Agus dan Annisa saat mencoblos. (Agus dan Annisa saat mencoblos. (CNN Indonesia/Safir Makki)
SBY memiliki hak yang sama dengan mantan Presiden Megawati untuk terus bergulat di panggung politik Indonesia sejak pensiun dari jabatan presiden. SBY memiliki hak untuk tetap berlaga di panggung politik seperti warga negara lain.

Setelah 'pensiun' dari jabatan presiden, SBY menjadi Ketua Umum Partai Demokrat yang luluh lantak akibat kasus korupsi sejumlah petinggi partai yang menjadi mesin politiknya.

Usai meraih suara sebesar 20,85 persen pada pemilu 2009, Demokrat kehilangan hampir setengah kursi di parlemen dengan peroleh suara sebesar 10,19 persen.

Tak Punya Tokoh

SBY tentu sadar untuk mendongkrak elektabilitas partai, dia harus menampilkan satu tokoh baru yang bersih dan tidak memiliki keterkaitan langsung dengan partai. Hal ini penting agar terhindar dari tudingan atau menjadi korban bisik-bisik tak sedap yang bisa menghancurkan elektabiltas.
Partai Demokrat tidak memiliki tokoh politik muda yang bisa diandalkan. Kaderisasi partai tampaknya mandek atau tidak menjadi perhatian utama ketika partai itu sedang berada di puncak popularitas—satu hal yang seringkali terjadi pada partai didirikan sebagai kendaraan politik satu tokoh.

Upaya mencari tokoh melanjutkan kiprah Demokrat sudah terasa ketika muncul berita pencalonan isteri SBY, Ani Yudhoyono, ketika mendampingi suaminya melakukan safari politik sekitar Maret 2016.

Pelemparan isu untuk cek ombak memang kerap dilakukan SBY, begitu tanggapan dari warga dirasakan negatif isu ini segera dibantah.

Pencitraan juga kerap dituding menjadi senjata utama SBY sejak dia menjabat presiden. Tentu saja citra negatif akan segera dihindari, sekecil apapun.

Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono saat acara Dies Natalis 15 Tahun Partai Demokrat dan Pembukaan Rampimnas 2017 di Jakarta, Selasa (7/2). Ketua Umum Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono saat acara Dies Natalis 15 Tahun Partai Demokrat dan Pembukaan Rampimnas 2017 di Jakarta, Selasa (7/2). (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)
Pencarian tokoh Demokrat berakhir ketika anak sulung SBY secara mengejutkan didorong maju ke Pilkada DKI, hanya beberapa jam sebelum pendaftaran paslon secara resmi ditutup.

Keputusan ini terkesan mendadak karena Agus Harimurti Yudhoyono saat itu masih mengikuti pelatihan militer di Australia yang berarti masih anggota aktif TNI.
Sisi positif langkah ini adalah serangan besar-besaran dilakukan secara mendadak, atau jika boleh dianalogikan dengan istilah militer 'shock and awe'. Tidak satupun menduga AHY akan diorbitkan di panggung politik, dan jika pun ada kecurigaan ke arah itu, mereka tentu tidak menduga secepat itu.

Bagi keluarga Yudhoyono, ini adalah keputusan besar karena AHY tidak pernah sama sekali direncanakan untuk terjun ke dunia politik. Kariernya begitu cemerlang di militer, jika kita percaya dengan kabar yang beredar luas.

Jadi tidak salah jika sebagai pimpinan Demokrat yang mengusungnya, apalagi sebagai ayah, SBY berjuang mati-matian untuk mendongkrak elektabilitas sang pendatang baru.

Satu cara lain yang sangat dipercaya SBY—berdasarkan pengalamannya—adalah menempatkan diri sebagai korban. Segala medium, dari media sosial hingga televisi, digunakan SBY untuk meyakinkan khalayak bahwa dia adalah 'korban' dari berbagai aksi.

Dan kebanyakan keluh kesah SBY selalu dikaitkan dengan pencalonan anaknya. Keluarga SBY menjadi korban tudingan-tudingan, bukan Partai Demokrat yang ingin dia tingkatkan elektabilitasnya.
Selain itu, SBY juga selalu mengarahkan tudingan itu menjadi kesalahan pemerintah Presiden Joko Widodo. Mantan Presiden ini seakan meminta pertanggungjawaban pemerintah atas segala tudingan negatif yang diarahkan kepadanya.

Langkah ini berdampak buruk terhadap citra SBY dan juga elektabilitas paslon AHY. Meski untuk elektabilitas AHY juga ditentukan oleh penampilannya dalam debat resmi Pilkada DKI DKI ketika dia tidak bisa memaparkan program yang diusung secara jelas dan berbeda dengan petahana.

Upaya pencitraan ini tidak lagi mumpuni terutama karena ia mengarahkan kesalahan ke pemerintah yang tingkat popularitasnya begitu tinggi di kalangan warga Indonesia.

Pencitraan Tak Ampuh

Upaya pencitraan ini tidak lagi ampuh ketika situasi ekonomi dalam keadaan yang tidak terlalu buruk, meskipun data menunjukkan ada tren perlambatan.

SBY, Antara Partai Demokrat dan Seorang AyahSBY saat konferensi pers menepis tudingan mantan Ketua KPK Antasari Azhar malam sebelum pencoblosan. (CNN Indonesia/M. Andika Putra)
Upaya pencitraan juga tak lagi bermanfaat bagi elektabilitas AHY karena dianggap sebagai usaha seorang ayah yang mati-matian membela anaknya, bukan seorang pimpinan partai yang memperjuangkan kemenangan kader yang sedang berlaga di panggung politik.

Hasil putaran pertama memperlihatkan, pemilih DKI memandang AHY bukan pemimpin yang bisa membawa ibukota ke arah yang mereka inginkan. Salah satu faktornya: bisa jadi karena SBY terlalu campur tangan untuk memenangkan AHY.
Dinasti politik bukan barang terlarang. Di banyak negara, dinasti politik juga terjadi. India, Pakistan bahkan di negara maju seperti Amerika Serikat.

Jika melihat pencalonan George W Bush sebagai presiden, banyak orang mempertanyakan kemampuannya memimpin negara itu.

Tetapi sang ayah, George H Bush, tidak membela anaknya secara membabi buta ketika masa kampanye. Dubya, nama panggilannya, dibiarkan tampil seperti apa adanya dan sesekali sang ayah ikut tampil.

Pemilih AS dibiarkan melihat Dubya berkembang dengan kemampuan sendiri di kampanye dan jika ada campur tangan sang ayah, hal itu dilakukan di belakang layar.

Kekalahan AHY kali ini sebagian besar dikarenakan ketidakmampuan sang ayah menahan diri melindungi sang anak yang masih hijau di panggung politik Indonesia.

Warisan politik SBY masih bisa dibenahi jika dia dengan lapang dada melepas sang anak atau tokoh politik muda lain yang mungkin nanti muncul, untuk berkembang, bukan karena paksaan atau titah dari ayah atau ketua umum partai.
LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER