PDIP: Aturan KPUD Perkecil Hak Pilih Rakyat di Pilkada DKI

CNN Indonesia
Sabtu, 18 Feb 2017 19:34 WIB
DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan menyayangkan aturan KPUD yang mengeluarkan dua peraturan tidak sejalan di Pilkada DKI 15 Februari lalu.
KPUD Jakarta saat melakukan Input dan pemindaian data form C1 hasil pemungutan suara. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)
Jakarta, CNN Indonesia -- Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (DPP PDIP) menyayangkan aturan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD), yang dianggap kurang mengakomodasi hak konstitusional warga negara pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta, tanggal 15 Februari lalu.

Peraturan yang tercantum di dalam Surat Edaran KPUD bernomor 162/KPU-Prov-010/II/2017 itu menyebut, pemilih yang tak tercantum sebagai Daftar Pemilih Tetap (DPT) dapat menggunakan hak pilihnya asal menunjukkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik dan Kartu Keluarga (KK).

Kepala Badan Saksi Pemilu Nasional (BSPN) PDIP Arif Wibowo menuturkan, ketentuan ini tentu saja mempersempit hak pilih warga, karena bertentangan dengan aturan KPU pusat yang tercantum di dalam surat edaran Nomor 151/KPU/II/2017. Peraturan itu menyebut, masyarakat yang tak tercantum di dalam DPT masih bisa memilih asal memiliki KTP elektronik atau surat keterangan kependudukan.


Akibat dua peraturan yang tak sejalan, maka masyarakat menjadi bingung dan enggan memberikan suaranya. "Menurut kami, peraturan hak pilih menjadi masalah dan ini yang paling serius di Pilkada DKI Jakarta pada tahun ini," terang Arif di Jakarta, Sabtu (18/2).

Maka dari itu, tak heran banyak kericuhan yang terjadi di beberapa Tempat Pemungutan Suara (TPS). Tim BSPN PDIP sendiri menemukan adanya 1.713 orang yang tak bisa memilih dan tersebar di 56 TPS.

"Tentu saja terjadi keributan di beberapa TPS itu, karena kan awalnya dibilang bermodal E-KTP bisa memilih. Namun, ternyata harus bawa KK juga, ini kan repot harus ke rumah lagi bawa KK. Kalau seperti ini, kami melihat ada upaya untuk menghilangkan hak pilih rakyat," tambahnya.

Apalagi, Arif beserta timnya menemukan anomali, di mana sebagian besar kasus ini terjadi di basis dukungan pasangan Basuki Tjahaja Purnama dan Djarot Saiful Hidayat, seperti Jakarta Barat, Jakarta Utara, dan Jakarta Pusat. Selain itu, ia juga mengakui kasus serupa terjadi di Jakarta Timur dan Jakarta Selatan, hanya saja, jumlahnya tak begitu masif.


Selain itu, ia mencurigai keputusan KPUD DKI Jakarta yang menerbitkan peraturan ini tiga hari sebelum Pilkada dimulai.

"Laporan kami menunjukkan hal tersebut. Undangan bagi pemilih di daerah-daerah tersebut juga sedikit. Jika memang praktik ini melanggar hukum, kami akan proses. Namun, tentu harus dikaji terlebih dulu," kata Arif.

Kendati demikian, Calon Wakil Gubernur Djarot Saiful Hidayat mengatakan, belum tentu pemilih yang tak terdaftar sebagai DPT itu merupakan pemilih pasangan urut nomor dua. Selain itu, kalau pun golongan masyarakat ini ikut serta di Pilkada tahap kedua, belum tentu juga bisa mendongkrak suara bagi Ahok dan dirinya.

Ia menuturkan, hak pilih adalah hak Warga Negara Indonesia (WNI) yang seharusnya tidak boleh dihalang-halangi. Bahkan, ia menyebut, tingkat partisipasi Pilkada lalu bisa mencapai 80 persen jika masalah ini bisa diselesaikan lebih awal.

"Pilkada kali ini angka partisipasinya tercatat paling tinggi, yaitu hampir 77 hingga 78 persen. Kalau tidak ada persoalan hak konstitusional, mungkin bisa mencapai 80 persen," pungkas Djarot.

LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER