Jakarta, CNN Indonesia -- Konflik horizontal yang terjadi selama Pilkada DKI 2017 dipandang serupa dengan polarisasi masyarakat yang terjadi pada 1965 dan 1998 silam.
Pendapat tersebut disampaikan oleh Direktur Pusat Kajian Representasi Sosial Risa Permana Deli. Menurutnya, polarisasi masyarakat pada Pilkada muncul akibat adanya penggunaan isu Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan (SARA).
Karena isu SARA, polarisasi yang terjadi akhirnya membagi warga menjadi dua kelompok besar, muslim dan non-muslim.
"Polarisasi pertama tahun 1965 saat ada unsur PKI dan non PKI. Ke-dua terjadi waktu 1998 ada kelompok pribumi dan non pribumi. Kemudian tidak sampai 20 tahun kemudian ada hal yang sama dan polarisasi saat ini adalah muslim dan non muslim," kata Risa di kawasan Cikini, Jakarta, Kamis (6/4).
Terjadinya polarisasi tersebut, membuat Risa mempertanyakan identitas bangsa Indonesia sesungguhnya. Baginya, pengelompokkan masyarakat harusnya tak terjadi karena Indonesia terdiri dari beragam suku dan kebudayaan.
Isu SARA di Pilkada DKI berkembang pasca ditetapkannya Ahok sebagai tersangka kasus dugaan penodaan agama. Ia disangka bersalah setelah berpidato di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016.
Dalam pidatonya, Ahok sempat membawa Surat Al Maidah ayat 51. Saat ini cagub nomor urut dua itu telah menjadi terdakwa dan sedang menanti tuntutan terhadapnya dibacakan oleh jaksa.
Menurut anggota Majelis Ulama Indonesia Ahmad Ishomuddin, Ahok tak bisa dikatakan bersalah dalam kasus tersebut. Sebab, ia memandang pernyataan Ahok yang memicu kontroversi tidak berkaitan dengan pemilihan gubernur.
"Kalimat yang dipotong (dalam pidato Ahok) adalah untuk maksud meyakinkan agar masyarakat yakin dengan program dan tak terganggu dengan isu menggunakan Al Maidah untuk kepentingan politik. Ayat ini tak ada kaitannya dengan pemilihan pemimpin," kata Ahmad.