Jakarta, CNN Indonesia -- Mungkin tak ada yang spesial dalam kampanye di putaran dua Pilkada DKI kali ini. Hanya saja, geliat Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat yang tampak mengubah sistem kampanye.
Sementara pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno masih menggunakan pakem seperti di putaran pertama lalu. Saat kegiatan kampanye putaran dua bisa dikatakan relatif membosankan, jika dibandingkan dengan putaran pertama.
Tapi ada hal yang menarik.
Ini adalah usulan agar pembacaan tuntutan bagi Basuki Tjahaja Purnama ditunda dan sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu dengan tergugat KPU DKI Jakarta dan Bawaslu DKI Jakarta.
Pada Kamis (6/4) yang lalu Kepala Polda Metro Jaya Inspektur Jenderal mengirimkan surat pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Isinya, permintaan agar sidang kasus penistaan agama dengan terdakwa Basuki Tjahaja Purnama ditunda pelaksanaanya.
Agenda kali ini memang tuntutan dari jaksa penuntut umum. Iriawan beralasan penundaan harus dilakukan agar keamanan dan ketertiban di DKI Jakarta harus dijaga jelang proses pemungutan suara.
Usulan Iriawan pun disambut baik oleh banyak pihak, termasuk Jaksa Agung M. Prasetyo. Tak hanya itu, lawan Basuki di Pilkada DKI, Sandiaga Uno, juga menyampaikan persetujuannya atas usulan itu.
Bagi Sandiaga, eskalasi politik di masyarakat saat ini memang sedang tinggi.
 Polda Metro Jaya meminta majelis hakim menunda sidang tuntutan Ahok demi keamanan Pilkada. ( CNN Indonesia/Abi Sarwanto) |
Jika fenomena itu berkaitan dengan masalah hukum salah satu kontestan Pilkada DKI, maka fenomena selanjutnya justru menjerat penyelenggara dan pengawas Pilkada DKI, yaitu KPU dan Bawaslu.
Dalam sidang etik yang digelar DKPP Jumat (7/4) lalu Ketua KPU DKI Jakarta Sumarno dinyatakan telah melanggar kode etik penyelenggaraan Pilkada DKI setelah tidak memperlakukan sama setiap calon, peserta pemilu, calon pemilih, dan pihak lain yang terlibat dalam proses pemilu.
Dasar pemberian sanksi tertulis pada Sumarno adalah peristiwa saat KPU DKI hendak menetapkan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI untuk putaran dua.
Saat itu, pasangan Basuki-Djarot
walk out lantaran merasa KPU DKI tidak melaksanakan acara sesuai jadwal. Alhasil, saat proses penetapan dilakukan hanya ada pasangan Anies-Sandi di lokasi sementara Basuki-Djarot memilih meninggalkan arena.
Dua kejadian itu memang berbeda dan tak ada kaitannya sama sekali. Hanya saja, dua kejadian itu tetap 'menyeret' nama Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Kasus Penistaan AgamaKejadian pertama soal penundaan, adalah soal kasus hukum penistaan agama sang gubernur nonaktif. Sedangkan di kejadian kedua, penyelenggara Pemilu diberikan sanksi karena tak memfasilitasi pasangan petahana sebagaimana mestinya.
Pengamat politik asal Universitas Indonesia Aditya Perdana menjelaskan dua kejadian tersebut tidak dapat disatukan dalam satu perspektif.
Untuk kejadian pertama, Aditya mengatakan alasan keamanan menjadi masuk akal mengingat apapun hasil dari persidangan bisa berdampak besar pada gejolak di masyarakat.
Baik itu pendukung Basuki-Djarot ataupun Anies-Sandi.
Tak hanya itu, Aditya juga berpandangan polisi atau bahkan intelijen pasti sudah memiliki pertimbangan sendiri sebelum akhirnya mengeluarkan surat permintaan penundaan sidang tersebut.
Salah satunya mungkin adalah karena DKI Jakarta menjadi salah satu penyelenggara Pilkada 2017 yang kerawanan konfliknya cukup tinggi.
Namun dari aspek politik, Aditya harus mengakui bahwa banyak asumsi yang berkembang dan salah satunya adalah soal dugaan intervensi dari penguasa agar sidang ditunda sampai pilkada selesai.
"Banyak asumsi berkembang, misalnya desakan penguasa, dalam hal ini Jokowi dan PDIP yang melakukan intervensi. Kalau ada pendapat seperti itu sah-sah saja," ujar Aditya kepada CNNindonesia.com.
 Ahok saat berada di persidangan dalam kasus penistaan agama. ( ANTARA FOTO/Reno Esnir) |
Walaupun demikian, Aditya mengungkapkan tak akan ada yang berharap asumsi itu menjadi kenyataan. Menurutnya jika asumsi itu benar maka itu justru akan memunculkan efek domino dalam dunia politik.
Efek paling nyata yang mungkin terasa adalah anggapan masyarakat bahwa demokrasi tak lagi bisa dipercaya. Idealnya, proses pengadilan tak boleh diintervensi oleh siapa pun.
"Kalau itu benar maka akan berdampak bahaya bagi demokrasi kita, karena penguasa tak boleh dan tak bisa mengintervensi proses pengadilan," katanya.
Sementara untuk sanksi etik yang dijatuhkan pada Ketua KPU DKI lantaran tak memfasilitasi Basuki-Djarot saat penetapan calon putaran dua, Aditya menilai bahwa DKPP telah melaksanakan tugas sesuai aturan yang berlaku.
"Tak ada bukti yang menguatkan bahwa beliau berpihak pada salah satu pasangan, beliau hanya kurang tepat memposisikan diri dalam situasi Pilkada," ujarnya.
Dan bisa jadi, hasil Pilkada nanti akan ditunggu-tunggu--dan jauh lebih menarik.