JUDICIAL REVIEW UU PENCUCIAN UANG

Akil Gugat Kewenangan KPK ke MK

CNN Indonesia
Jumat, 29 Agu 2014 11:39 WIB
Kewenangan KPK menuntut pidana pencucian uang digugat oleh eks Ketua MK Akil Mochtar. Akil menyebut, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tak memberi dasar hukum yang kuat bagi KPK untuk menuntut perkara pencucian uang.
Jakarta, CNN Indonesia -- Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar menggugat kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ke MK dalam menuntut tindak pidana pencucian uang. KPK dinilai tidak memiliki dasar hukum kuat dalam menuntut kasus pencucian uang.

"Dalam pasal 76 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tidak ada secara eksplisit (disebutkan) bahwa KPK punya kewenangan untuk penuntutan perkara pencucian uang," ucap pengacara Akil, Adardam Achyar, dalam sidang pemeriksaan perdana yang digelar di rapat pleno MK, Jakarta, Jumat (29/8).

Pasal 76 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyebutkan, penuntut umum wajib menyerahkan berkas perkara tindak pidana pencucian uang kepada pengadilan negeri paling lama 30 hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya berkas perkara yang telah dinyatakan lengkap.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Adardam menambahkan, dalam undang-undang itu tidak dijelaskan bahwa KPK berwenang menuntut pidana pencucian uang. Seperti dalam Pasal 74 yang hanya menyebutkan, penyidikan TPPU dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal sesuai dengan ketentuan hukum acara dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Materi gugatan lain adalah frasa "patut diduga" dalam pasal 2 ayat 2, pasal 3, pasal 4, dan pasal 5 ayat 2. Merujuk pasal tersebut, menurut Adardam, KPK tidak memiliki kewenangan untuk menyidik, memeriksa, dan mengadili tindak pidana pencucian uang kalau tindak pidana asal belum divonis pengadilan.

"Harus dikatakan seseorang nyata mengetahui tindak pidana asal setelah adanya putusan pengadilan, baru bisa disidik," kata Adardam.

Frasa yang mirip terdapat pada pasal 69, pasal 76 ayat 1, pasal 77, dan pasal 78 ayat 1. Dalam pasal tersebut, tertulis "tidak wajib dibuktikan tindak pidana asal".

Keberadaan pasal tersebut dia anggap menjadi penyebab harta kekayaan Akil yang tidak terkait tindak pidana asal dirampas oleh negara. "Kalau tidak wajib dibuktikan, bagaimana bisa dianggap itu hasil tindak pidana? Jangan sampai tindak pidana asal belum tetap, tapi tindak pencucian uang sudah dilakukan penyidikan," katanya.

Menanggapi permohonan gugatan tersebut, Hakim Ketua Muhammad Alim mengatakan pihak pemohon harus menjelaskan lebih detil dalil untuk menguatkan petitum atau gugatan. "Di petitum harus dijelaskan positanya (pasal dalam UU) bertentangan dengan pasal mana (dalam UUD 1945). Ini bertentangan ini, karena apa," ucap Muhammad Ali dalam persidangan.

Setelah memberikan nasihat, Muhammad Alim dan dua hakim anggota lainnya, Wahduddin Adams dan Aswanto, meminta pengacara Akil untuk melakukan perbaikan permohonan dalam waktu 14 hari kerja.

Sebelumnya, pengadilan tindak pidana korupsi memvonis mantan Ketua MK Akil dengan hukuman penjara seumur hidup atas kasus suap sengketa pilkada di sejumlah daerah. Akil juga terbukti bersalah atas pidana pencucian uang melalui pembentukan perusahaan perdagangan umum dan jasa di Pontianak, Kalimantan Barat.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER