Jakarta, CNN Indonesia -- Nasib Angga Septian malang benar. Bocah 11 tahun itu terbujur di kamar 809 Rumah Sakit Umum Daerah Koja, Jakarta Utara, gara-gara dianiaya ayahnya sendiri, Novi (33 tahun).
Penganiayaan membuat kepala Angga mengalami hematoma atau penggumpalan darah, di bagian belakang kiri. “Makanya tidurnya miring,” kata Girianto Tjandrawidjaja, dokter syaraf RSUD Koja, kepada CNN Indonesia, Kamis (28/08).
Polisi sedang menangani kasus penganiayaan itu. Tapi sampai kini, Novi, sang ayah, masih melenggang bebas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Aktivis pembela hak anak menilai, terjadinya kasus seperti Angga dan Novi sebab undang-undang perlindungan anak tidak memiliki kekuatan sanksi pada pelaku tindak pidana kekerasan pada anak. Mereka mendesak undang-undang itu direvisi.
Perlindungan terhadap anak diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002. Tapi sejumlah pasal dinilai kedodoran.
Sekretaris Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Erlinda merujuk pada ketentuan soal perlindungan anak di dalam dan di lingkungan sekolah. Itu disebut dalam bagian ketiga pasal 54.
“Apabila ada yang melanggar di lingkungan sekolah, sanksi pidananya ke mana?” kata Erlinda, di kantornya, di Jakarta, pada pekan lalu. “Kita kecolongan di situ.”
Ada pula pasal 78 mengenai kewajiban melindungi anak yang berada dalam situasi darurat, berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, serta tereskploitasi secara ekonomi dan seksual. Pasal ini sudah menyebutkan sanksi pidana penjara lima tahun dan denda paling banyak Rp 100 juta.
Sanksi itu, kata Erlinda, belum kuat. Lemahnya perundang-undangan itu, ujarnya lagi, membuat proses perlindungan anak sering terganjal peradilan.
Malah, tak jarang aktivis pembela hak anak malah terseret. Seperti kasus Arist Merdeka Sirait, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, yang pernah diperkarakan pihak panti karena mencoba mengevakuasi anak-anak dari Panti Samuel yang diduga menjadi korban kekerasan.
Tak hanya lemah dari segi hukum, beberapa bagian undang-undang tersebut juga dinilai tak jelas. Seperti kasus pelecehan seksual tak dijelaskan secara mendetail sehingga penanganan kasus seperti itu tak bisa ditangani secara maksimal oleh kepolisian.
Padahal pada pasal 82 disebutkan bahwa orang yang melakukan perbuatan cabul kepada anak berhak dipidanakan maksimal 15 tahun penjara atau denda maksimal 300 juta rupiah. “Kata cabul di sini mesti dibuat detail lagi biar lebih kuat secara hukum,” ujar Erlinda.
Tim dari KPAI saat ini masih sedang menggodok revisi Undang-Undang Perlindungan Anak bersama kalangan LSM. Mereka berharap revisi itu bisa disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat sebelum pelantikan Presiden Joko Widodo pada 20 Oktober nanti.
Sementara itu, aktivis anak Roostien Ilyas, mengatakan revisi UU Perlindungan Anak nantinya mesti mengatur juga tentang ketentuan peraturan daerah mengenai perlindungan anak. Sejauh ini, pemerintah daerah masih mengacu kepada undang-undang nasional dalam penegakan perlindungan terhadap anak.
“Padahal, anak dari Jogjakarta dan anak dari Sumatera Utara kan berbeda,” kata Roostien. “Payung hukum nasional mesti disesuaikan dengan akar budaya setempat, jangan sampai anak dicerabut dari budaya.”