Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Pemberantasan Korupsi telah mulai melakukan penuntutan terhadap tindak pidana pencucian uang sejak 2012. Pidana cuci uang tersebut didakwa bersama dengan kejahatan korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Menyikapi hal tersebut, sejumlah pakar hukum mempertanyakan kewenangan KPK.
Mudzakir, pakar hukum pidana Universitas Islam Indonesia, menilai KPK tidak berwewenang menuntut pencucian uang. Sebagaimanan diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, KPK hanya berwenang menyelidiki dan menyidik.
"Yang punya wewenang adalah jaksa penuntut umum di bawah manajemen Kejaksaan Agung," jelas Mudzakir ketika dihubungi CNNIndonesia, Sabtu (30/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Mudzakir, pencucian uang tidak identik dengan pidana korupsi sehingga yang dilakukan KPK selama ini merupakan bentuk karut marut penegakan hukum. "Menjalankan wewenang hanya berdasar pada interpretasi itu bahaya karena berpotensi melanggar hak asasi manusia," tandasnya.
Potensi pelanggaran HAM tersebut akan terjadi jika dilakukan penyitaan terhadap harta yang tidak bersumber dari korupsi serta menahan selama proses penyidikan pidana pencucian uang. Mudzakir melanjutkan, mestinya penyidik KPK menyerahkan berkas ke jaksa penuntut umum di Kejaksaan Agung. Asas peradilan yang sederhana, cepat, dan berbiaya ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat 4 UU Nomor 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman tidak dapat diterapkan dalam konteks ini.
"Kalau tindak pidana asal adalah korupsi, jaksa menuntut ke pengadilan khusus Tipikor. Tapi kalau pidana umum diajukan ke pengadilan umum," ujarnya.
Yenti Ganarsih, doktor tindak pidana pencucian uang, berpendapat senada. Menurut Yenti, kewenangan KPK menuntut pidana pencucian uang terus dipertanyakan oleh para kuasa hukum yang beracara di Pengadilan Tipikor. "Kalau terus ditanyakan dalam persidangan, itu melelahkan. Beberapa kasus begini dibiarkan bergulir," terang Yenti kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (30/8).
Dosen Universitas Trisakti ini menegaskan, untuk menghindari persoalan di masa mendatang perlu dibuat satu langkah konkrit sehingga saat persidangan tidak lagi dipersoalkan prosedur penuntutan tersebut. "Jadi konsentrasi ke substansi kasus," ucapnya.