Jakarta, CNN Indonesia -- Kondisi korban kejahatan asusila di Jakarta International School, M, tak kunjung membaik. Trauma yang dialami membuat dia sulit berinteraksi dengan masyarakat, bahkan dihantui perasaan bersalah.
"Sering setiap jalan di pusat perbelanjaan dia bersembunyi saat melihat orang sedang bersih-bersih. 'Ma, dia (terdakwa) sudah dipenjara kan?' nanya begitu anak saya," ujar TPW, ibu korban berinisial M, saat berbincang dengan CNNIndonesia.com di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (2/9).
Bukan hanya itu, M juga kerap menyakiti diri sendiri karena tekanan yang dia rasakan. M kerap menilai dirinya melakukan kesalahan sehingga terjadi tindak kejahatan asusila terhadapnya. "Karena para terdakwa bilang ke M bahwa perbuatan asusila yang dilakukan kepada adalah hukuman. Jadi saya terus menanamkan pada anak saya kalau yang salah itu mereka (terdakwa)," kata TPW.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai korban kekerasan dan kejahatan seksual, M diperlakukan tidak adil oleh institusi pendidikan. Dia juga seolah mendapat sanksi sosial dari masyarakat. "Saya sedih melihat anak saya seperti itu, dia sering menyakiti diri sendiri saking stresnya," ujar TPW berkaca-kaca.
TPW bercerita bahwa masyarakat masih membicarakan kasus anaknya setiap kali mereka muncul di masyarakat. Bahkan mereka tak segan menanyakan kepada TPW mengenai anaknya. "Kalau ada yang nanya pasti saya jawab 'bukan kalian salah orang'," ujar TPW.
Selain psikologis, lanjut TPW, kondisi fisik M juga membuat orang tua prihatin. Berat badan M yang naik turun memperlihatkan bahwa kemungkinan M masih menyimpan trauma dan lelah menjalani pemeriksaan dokter. M yang baru berusia enam tahun juga cenderung lebih pendiam dibanding sebelum kejadian ini. "Hari ini 30 kilogram besok tiba-tiba 27 kilogram, itu karena terlalu banyak pemeriksaan di dokter," ujarnya.
Menurut TPW, aktivitas M saat ini hanya di rumah karena belum ada sekolah yang bersedia menerimanya. Padahal, TPW bersama sang suami telah berupaya mendatangi sekolah untuk melanjutkan studi anaknya. "Ada satu sekolah yang pernah menerima tapi tiba-tiba membatalkan karena anak kami korban JIS," tuturnya muram.
Sekali waktu TPW menemukan sekolah yang dia anggap cocok untuk M, namun sang buah hati menolak. M merasa sekolah tersebut tak jauh berbeda dengan JIS, sekolah yang menghilangkan kebahagiaan masa kecilnya. Sambil terus mencari sekolah yang tepat, TPW sesekali membekali anaknya dengan pelajaran yang diajarkan di sekolah.
Karena itu, jika kasus ini telah selesai, TPW dan suami berencana membawa M untuk pindah ke luar negeri. Belanda akan dipilih sebagai negara yang akan mereka tinggali kelak. "Anak kami trauma dengan orang berwajah Asia jadi kami berencana pindah ke negara suami (Belanda)," katanya.