Jakarta, CNN Indonesia -- Suciwati, isteri dari almarhum aktivis pembela hak asasi manusia Munir, mengatakan 10 tahun tragedi pembunuhan suaminya, tidak membuat pemerintah beritikad menyelesaikan kasus tersebut.
“Kami merasa dibodoh-bodohi. Sistem peradilan di Indonesia buruk. Gimana cara dapatkan keadilan (Munir)?” ujar Suciwati Munir dari Malang Jawa Timur via telepon kepada CNN Indonesia, Jumat (05/09).
Munir Said Thalib atau lebih dikenal dengan Cak Munir dibunuh dalam perjalanan menuju Schiol Belanda untuk menyelesaikan pendidikan master di bidang hukum dan HAM. Hasil otopsi dari forensik Belanda menyatakan bahwa Munir meninggal akibat keracunan arsenik dalam dosis tinggi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Stuck. Semua stuck. Saya kecewa sekali,” ujarnya sembari menghela nafas.
Ia menjelaskan ada hal serius yang memang dilakukan oleh pemerintah seperti membuat Tim Pencari Fakta (TPF) pada awal pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. TPF, ujarnya, dibentuk setelah desakan kencang dari keluarga korban dan teman-teman aktivis untuk mengusut tuntas kasus pembunuhan Munir.
TPF, katanya, sempat dibubarkan kemudian dibentuk kembali. Tim tersebut terdiri dari jaksa, polisi, profesional di bidang hukum dan HAM yang bertugas menelusuri laporan pembunuhan Munir.
“Sayangnya hasil temuan mereka, yang semestinya dipublikasikan, tidak pernah dibagikan ke publik,” ia menerangkan dengan kecewa. “Padahal ada keputusan presiden yang menyebutkan hasil temuan TPF mesti dipublikasikan ke publik.”
Ketidakpuasan Suciwati bertambah ketika Mahkamah Agung (MA) mengabulkan Peninjauan Kembali (PK) atas PK Jaksa Penuntut Umum pada 2013. Hasilnya, hukuman Pollycarpus, terpidana pembunuhan berencana atas Munir, dikembalikan menjadi 14 tahun penjara. Hal ini juga ikut diperparah dengan bebasnya salah satu dalang pembunuh Munir, Muchdi PR, mantan Danjen Kopassus dan Deputi V Badan Intelejen Negara (BIN), ujar Suciwati.
“Bagaimana tidak kalau jaksanya sendiri diberi yang punya rekam jejak atas kasus korupsi (merujuk pada Cirus Sinaga)? Pemerintah niat atau tidak, sih?” katanya kesal. “Orang tersebut tidak layak mengurus kasus yang disorot dunia internasional.”
Setelah bebasnya Muchdi PR, Suciwati sempat berharap pada kesaksian agen Badan Intelejen Nasional (BIN) yang bertugas di Pakistan Budi Santoso dan Wakil Ketua BIN, M Asat. Namun, ternyata kesaksian itu juga tidak dilanjuti hingga ke ranah hukum.
“Katanya waktu itu kan sudah ada yang dipenjara (Pollycarpus). Lha, apa hubungannya?”
Pada tahun 2011, ia sempat mengajukan gugatan ke pihak kejaksaan untuk membuka laporan yang ditemukan oleh Tim Pencari Fakta, tetapi juga tidak ada kelanjutan hingga sekarang. Saat ini, ia mengatakan sedang mempelajari Keppres No. 111 tahun 2004 tentang Pembentukan Tim Pencari Fakta kasus meninggalnya Munir, yang bisa mendesak TPF untuk membuka laporan mereka.
“Itu yang kami lakukan sekarang. Kami akan membawa ke pengadilan, desak pembukaan laporan TPF.”
Sementara itu, sejak meninggalnya Cak Munir, Suciwati selain terus berjuang mencari kebenaran untuk suaminya, juga tak henti menafkahi kedua anak-anaknya, Alif Allende (17) dan Diva Suukyi (12).
“Saya sekarang membantu bisnis properti kakak Munir di Malang, “ ujarnya.
Ia juga menceritakan pertama kali bertemu dengan Munir di LBH Surabaya pas advokasi buruh tahun 1991. Mereka kemudian mulai serius tahun 1996 dan tak lama Munir melamar Suciwati menikah.
“Yang saya ingat dari masa pernikahan kami adalah waktu itu kami pernah kena tilang di daerah Sudirman ketika dibonceng motor sama Cak Munir karena masuk jalur mobil,” ujarnya mengenang.