Jakarta, CNN Indonesia -- Pengamat geopolitik dan ekonomi energi, Hendrajit, menilai mafia migas yang ada di Indonesia saat ini semakin mengganas. Itu terjadi lantaran birokrasi yang berbelit-belit dan juga peraturan menteri yang ternyata malah menjadi payung para mafia.
Menurut Hendrajit, kondisi birokrasi yang terlalu rumit di SKK Migas membuat mafia migas akhirnya tersebar dari hulu ke hilir. Penyebaran tersebut dianggap menjadi penyebab kerugian negara hingga belasan triliun rupiah.
“Misalkan ada satu proyek, biaya birokrasi yang harus ditempuh bisa mencapai USD 15.5 miliar,” katanya dalam diskusi Polemik Sindo Trijaya, di Cikini, Jakarta, (6/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia memaparkan, perjalanan setiap proyek menjadi panjang karena harus melalui banyak tahapan. Mulai dari yang disebut rencana kerja dan anggaran, pengembangan proyek, hingga akhirnya ke eksploitasi. “Dari situ saja bisa tergambar berapa kerugian negara,”
Direktur Eksekutif Global Future Institute ini juga menjelaskan, ada beberapa Peraturan Menteri yang menjadi pintu masuk timbulnya kebocoran di sektor hilir migas. Hendrajit mengatakan, hal itu dapat terlihat dengan direvisinya Permen ESDM No.18/2013 tentang harga jual eceran jenis bahan bakar minyak tertentu untuk konsumen pengguna tertentu, yang malah menyebabkan kerugian negara lebih besar lagi.
“Di Peraturan presiden nomer 15/2012 itu kan ditegaskan hanya kapal nelayan dengan ukuran maksimal 30 gross ton yang berhak dapat minyak solar subsidi. Tapi nyatanya melalui payung Permen 18/2013 tersebut, dia memberlakukan ini ke semua jenis kapal,” ujar Hendrajit.
Karena itu, menurut Hendrajit, kerugian dari pemberian subsidi kapal di atas 30 gross ton, negara dirugikan per Rp 1.7 triliun per tahun untuk sektor perikanan.
Lebih lanjut, dia mengatakan, modus operandi mafia di hulu SKK Migas adalah dengan membangun kepribadian ganda dari Peraturan Menteri. Seperti halnya ketika Jero Wacik merevisi Permen ESDM No.18/2013 menjadi Permen ESDM 06/2014.
“Permen ESDM No.18/2013 yang kemudian cacat hukum karena dianggap melanggar peraturan presiden No.15/2012 kemudian direvisikan menjadi 06/2014, tapi secara kepribadian tetap saja. Jadi, lebih bahaya menciptakan kepribadian ganda daripada menabrak peraturan yang ada,” sebutnya.