Jakarta, CNN Indonesia -- Agustus 2014 menjelang akhir. Sebanyak 20 organisasi buruh migran dan pekerja rumah tangga meriung di kawasan Blok M, Jakarta Selatan. Mereka mempertanyakan soal Tim Transisi bentukan presiden terpilih Joko Widodo.
Ternyata, dari 22 kelompok kerja hasil bentukan Tim Transisi, tak ada satu pun yang khusus di bidang ketenagakerjaan. Mereka menilai ini sebuah kemunduran di tengah upaya memberikan perlindungan hukum terhadap kaum buruh. Apakah Jokowi-Jusuf Kalla abai?
Dalam sebuah pertemuan dengan salah satu deputi dari Tim Transisi, menurut salah seorang ketua serikat pekerja, Tim Transisi mengusulkan bidang ketenagakerjaan diletakkan di bawah pokja kesehatan atau kemiskinan.
Organisasi buruh yang hadir dalam rapat koordinasi di Blok M itu serentak menolak usulan tersebut. Mereka ingin agar tim transisi membentuk satu pokja khusus mengenai ketenagakerjaan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penolakan itu dibawa ke sebuah rapat konsolidasi lanjutan bertempat di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Hadir di sana perwakilan dari Konfederensi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KBSI), Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI), Jaringan Nasional untuk Advokasi Pekerja Sektor Domestik (Jala PRT), Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP), serta Komite Politik Buruh Indonesia (KPBI).
Menurut Timboel Siregar, Presidium KPBI, ketiadaan pokja hanya akan menyebabkan lemahnya perlindungan terhadap buruh dan pekerja sektor informal di Indonesia.
“Banyak persoalan yang dihadapi yang butuh perlindungan khusus dari pemerintah mendatang,” ujar Timboel di LBH Jakarta, Selasa (2/09).
Biro Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pekerja usia 15 tahun ke atas sesuai status pekerjaan utama, pada Februari 2014, mencapai 118, 3 juta. Jumlah ini meningkat dari 116 juta pada Februari 2013.
Sementara itu, jumlah pekerja buruh, karyawan dan pegawai di Indonesia pada Februari 2014 tercatat 43,4 juta, meningkat 5, 35 persen dari Februari tahun lalu, yakni 41,1 juta pekerja.
Tingginya angka pekerja produktif tidak diimbangi dengan perlindungan pekerja yang kuat. Data dari Migrant Care menunjukkan pada tahun 2013 ada 398.270 kasus kekerasan terhadap buruh migran.
Jumlah ini meningkat jauh dari tahun sebelumnya, yakni sebesar 16.104 kasus. Kasus tersebut meliputi persoalan lembur berlebihan, hilangnya kontak, gaji yang tidak dibayar, ancaman hukuman mati hingga meninggal dunia.
Sementara, data dari JALA PRT menunjukkan adanya 563 kasus kekerasan yang dialami oleh pekerja sektor domestik pada rentang waktu 2012 hingga 2013.
Rapat konsolidasi lanjutan tersebut lantas memetakan persoalan yang dihadapi oleh buruh, pegawai dan karyawan baik di sektor formal dan informal, di antaranya: pengadaan hubungan industrial, Jaminan Sosial terutama jaminan pensiun dan kepastian penegakan hukum peserta ketenagakerjaan BPJS, kesehatan dan keselamatan kerja, perlindungan buruh perempuan meliputi kekerasan seksual, hak cuti, fasilitas kerja, kesehatan reproduksi serta diskriminasi, outsourcing serta upah layak.