WAWANCARA BEKAS PIMPINAN KPK

Sempat Menurunkan Standar Hidup Keluarga

CNN Indonesia
Senin, 08 Sep 2014 11:46 WIB
"Kita harus mulai menurunkan standar, nggak bisa makan di luar terlalu sering karena pendapatan saya pasti berkurang banyak. Jadi mesti maklum, jangan terlalu banyak permintaan. Toh ini cuma empat tahun, jalani saja, semoga nggak terasa."
Mantan Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas
Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi Pemberantasan Korupsi tengah mencari satu orang pengganti wakilnya, Busyro Muqoddas, yang akan mengakhiri masa jabatannya Desember mendatang. Dari 104 pendaftar, 64 di antaranya lolos seleksi tahap I atau seleksi administrasi. Jumlah tersebut terbilang sedikit dibanding saat Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK membuka pendaftaran untuk pengganti Ketua KPK Antasari Azhar yang menjadi terdakwa pembunuhan tahun 2010.

Bagaimana sebenarnya kehidupan pribadi para mantan pimpinan lembaga antikorupsi itu saat tergabung di KPK? Adakah kebiasaan yang hilang dan tak boleh dilakukan selama menjabat? Berikut wawancara Rosmiyati Dewi Kandi dan Gilang Fauzi dari CNNIndonesia.com dengan mantan Wakil Ketua KPK periode 2004-2008, Erry Riyana Hardjapamekas:

Bagaimana kehidupan pribadi Anda saat menjabat Wakil Ketua KPK?
Pada waktu itu kami berlima sepakat yang kemudian kami tularkan ke bawah, bahwa kami harus mengisolir diri, tidak boleh tampil di tempat-tempat publik, nongkrong di coffee shop. Kesepakatan itu kami tuangkan dalam kode etik. Konsekuensinya, kalau ada orang ketemu saya dan ada kaitannya dengan pemberantasan korupsi, saya harus undang mereka ke kantor, supaya saya gak harus keluar. Kalau ada seminar atau kegiatan lain pulangnya harus cepat. Kami juga membuat kode etik yang menyebut tidak boleh bermain golf dengan orang lain, kecuali dengan kolega sendiri, kolega sesama penegak hukum, itu boleh. Dari sisi pribadi saya bilang sama keluarga saya. Sebelumnya saya orang korporat yang biasa keliling, kadang-kadang sukan makan di luar. Begitu di KPK kita harus membatasi itu. Penghasilan di luar selain gaji dari KPK juga otomatis berhenti karena nggak boleh merangkap. Jadi saya berhenti jadi komisaris di perusahaan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ada kesulitan memberi penjelasan kepada keluarga mengenai kode etik selama menjabat pimpinan KPK?
Awalnya susah. Waktu awal saya mendaftar pun itu sudah melalui perdebatan antara saya, istri saya, dan empat anak saya. saya bilang saya mau daftar ke KPK. Mereka tanya, apa itu kpk? Saya bilang, itu lho Komisi Pemberantasan Korupsi. Dua anak lelaki saya mendukung, tapi dua anak perempuan dan ibunya nggak. "Janganlah, kan sudah pensiun, sudahlah kita menikmati hidup saja, nanti kalau sudah jadi di KPK malah ada keterbatasan dalam beraktivitas. Tapi saya coba membujuk dengan menjelaskan bahwa ini adalah persoalan besar bangsa. Saya sampaikan, "Kalau saya terpilih pun kita harus menganggap ini sebagai amanah, tugas dari negara. Kapan lagi kita bisa mengabdi."

Berapa lama sampai akhirnya keluarga memahami dan mengizinkan?
Saya butuh beberapa hari untuk meyakinkan mereka. Dua anak perempuan saya paham dan lebih dulu mengizinkan, ibunya pun ikut mengizinkan. Setelah itu baru saya daftar. Konsekuensinya sudah saya katakan sejak awal, "Kita harus mulai menurunkan standard, tidak bisa makan di luar terlalu sering karena pendapatan saya pasti berkurang banyak. Jadi mesti maklum dan jangan terlalu banyak permintaan. Toh ini cuma empat tahun, jadi kita jalani saja, semoga nggak terasa." Dan mereka tidak keberatan.

Berapa persen penurunan pendapatan Anda saat menjadi pimpinan KPK?
Banyak sekali. Sampai 20 persen dari penghasilan sebelumnya. Sebenarnya nggak jelek-jelek amat. Tapi tahun-tahun pertama kita belum ada anggaran, jadi ada penghasilan tapi masih kecil.

Berapa penghasilan jadi pimpinan KPK?
Pemerintah saat itu menerbitkan peraturan mengenai pengelolaan sumber daya manusia di KPK, kemudian ada program remunerasi dan fasilitas pimpinan KPK. Tahun kedua kami mendapat sekitar Rp 40 juta per bulan, tanpa fasilitas lainnya karena KPK menetapkan single salary. Segala tunjangan sudah termasuk dalam gaji Rp 40 juta per bulan sehingga kami tidak lagi mendapat tunjangan rumah maupun tunjangan kendaraan. Tapi dengan begitu jadinya jelas, daripada kita dapet segala macam fasilitas tapi gajinya kecil, itu persoalan.

Bagaimana tanggapan teman dan kolega Anda yang sebelumnya sering jadi teman bergaul?
Banyak komentar memang. Ada yang bilang, "Wah lu masa begini sekarang, sombong lah, itu lah, ini lah." Saya jawab, "Yaa maklum lah, gua kan penegak hukum, mesti kasih contoh, dan segala macem." Mereka akhirnya sih memahami karena saya juga menegaskan nggak bisa lagi seperti dulu. Kalau mereka mau main, ya maen ke kantor sore-sore boleh. Lepas jam kantor, asal jelas urusannya apa. Jangan urusan main-main saja. Akhirnya mereka mau datang ke kantor, kemudian saya suguhi makan. Jadi kita makan atau ngopi sore di kantor.

Pimpinan KPK memiliki tekanan yang cukup tinggi, apakah Anda merasa terbebani?
Beban terberat yang kami tanggung pada saat itu adalah harapan publik yang begitu tinggi. Harapan, kepercayaan, dan perasaan diandalkan oleh masyarakat. Harapan publik tinggi karena menganggap KPK bisa diandalkan. Itu sebuah kepercayaan yang luar biasa bagi saya dan menjaga kepercayaan itu tidak mudah, terutama ekspektasi masyarakat. Mengelola harapan masyarakat yang begitu tinggi itu susah, tidak mudah. Itu saya kira tantangan paling utama. Pertanyaan mereka seperti, "Kapan yang ini, kapan yang itu?" Atau sindiran seperti, "Ah yang diungkap atau yang ditangkap kecil korupsinya." Saat kita tangkap gubernur, masih saja ada yang kurang, "Kok menterinya nggak? Kok yang ditangkap bekas menteri? Kok menteri aktifnya nggak?" Nah, mengelola ekspektasi masyrakat seperti itu merupakan tantangan yang paling berat.

Selama empat tahun menjabat, kasus apa yang paling membekas dalam ingatan Anda?
Ada kasus yang menimpa salah satu komisioner Komisi Pemilihan Umum, namanya Mulyana W Kusumah. Dia menyuap auditor Badan Pemeriksa Keuangan. Waktu dia ditangkap, saya pikir rasanya nama ini familiar betul di telinga saya. Saya ingat karena ternyata dia keponakan saya. Kenapa seumur? Ayah saya 12 bersaudara. Dia (Mulyana) adalah cucu dari kakak ayah saya yang paling tua. Sementara ayah saya anak nomor 11. Jadi cucu nomor satu satu dengan anak nomor 11 itu kira-kira umurnya sama. Karena ragu, saya telepon Pak Kusnadi Hardja Sumantri, dulu Rektor UGM. "Pak Kusnadi, Mulyana W Kusumah itu keponakan kita ya?" Dia jawab betul. Ditanya lagi kenapa. Saya bilang, "Ya ketangkep dia." Saya jelaskan ditangkap KPK karena apa. Lalu dalam rapat pimpinan saya sampaikan bahwa Mulyana adalah keponakan sehingga saya mohon tidak dilibatkan dalam kasusnya. Saya tidak akan pernah lupa kasus itu. Mulyana waktu itu tertangkap tangan dan kemudian ditahan.

Bagaimana Anda menghadapi keluarga setelah KPK menangkap tangan keponakan Anda?
Anak-anaknya datang ke rumah saya, kebetulan saya masih di kantor. Nggak kebayang oleh saya kalau saya ada di rumah, lalu mereka datang terus nangis-nangis minta penangguhan penahanan ayahnya atau minta apa. Itu kan jadi bikin saya susah. Tapi alhamdulillah mereka juga paham betul, jadi mereka nggak pernah datang lagi. Saya juga nggak pernah berkomunikasi lagi setelah itu.

Ada keluarga yang minta agar Mulyana dibebaskan?
Ada sedikit, tapi dengan jawaban singkat saja mereka langsung berhenti. Mereka juga paham betul posisi saya. Di sini untungnya berada di KPK karena semua pihak bisa memahami posisi KPK sehingga tidak sulit memberi pemahaman. Kasus Mulyana ini memang yang paling berat yang pernah saya alami. Saya sudah teruji dan terbiasa menghadapi konflik kepentingan walaupun sebelumnya belum pernah menyangkut saudara. Biasanya ada teman yang minta diprioritaskan dalam hal pengadaan, saya bisa dengan tegas mengatakan nggak. Anda harus ikuti aturan. Itu sudah biasa waktu saya menjadi Direktur Utama PT Timah dulu. Jadi dari sisi ketegasan saya nggak ada masalah. Tapi karena ini berkaitan dengan saudara dan proses hukum, memang ini yang paling berat.

Selain kasus keponakan Anda, bagaimana tekanan politik yang Anda rasakan saat berada di KPK?
Tekanan politik itu terjadi sepanjang ada pernyataan di media seperti kecaman, kritik, dan memang banyak sekali. Bagi saya, asal nggak dimasukin ke hati saja bisa diatasi. Kalau kritik konstruktif tentu kami ambil uuntuk dijadikan catatan. Tapi kalau sekadar mengecam karena satu partai atau satu korps, kami cuekin saja.

Ada kecaman yang membuat Anda sakit hati?
Oh banyak. Seperti misalnya dikatain, KPK banci atau KPK tebang pilih karena selalu mengincar yang ini, tapi yang itu nggak. Belum lagi ada sms-sms yang melaknat dan marah-marah. Itu menyakitkan bagi saya, meskipun lama-lama terbiasa. Kami anggap vitamin saja, kami tanggapi dengan lucu-lucuan, ketawa-ketawa. Sambil menghibur diri sebetulnya.

Pernahkah Anda dihubungi pihak penguasa ketika sedang menangani sebuah perkara?
Pasti ada. Ada kasus tapi saya lupa, sampai ada menteri marah-marah. Dia telepon saya iya-iya saja. Menerima telpon seperti itu sudah menjadi kebiasaan sehari-hari, kami berlima pasti pernah mengalami. Biasanya yang seperti itu dilaporkan dalam rapat pimpinan supaya semuanya terbuka.

Pernah diancam?
Kalau sms ancaman ada, tapi nggak sampai ancaman fisik. Kami juga sesama pimpinan punya prosedur keamanan sendiri untuk mengantisipasi ancaman itu.

Anda dibekali senjata api, apakah dengan itu Anda merasa lebih aman?
Awal jadi pimpinan KPK itu saya bawa terus hingga suatu waktu saya ceramah juga saya bawa. Nah, saya lupa ternyata saya pakai celana yang kantongnya bolong. Jadi saat saya berdiri, pistolnya meluncur ke bawah sampai ke kaki saya. Wah, saya malu sekali, orang-orang pada ketawa. Itu terjadi tahun pertama menjabat jadi pimpinan KPK, merasa gagah dapat senjata. Tapi sebelum dibekali senjata kita juga dilatih dulu, ada tes kejiwaan. Apalagi saya sebelumnya belum pernah pegang senjata.

Bagaimana KPK memastikan keamanan pimpinan KPK?
Di KPK ada ajudan, saya nggak pernah pakai ajudan, nggak pakai pengawal, supir saja saya ada. Saya merasa nggak perlu pakai pengawal atau ajudan. Menurut saya, kalau (saatnya) mati, ya mati saja. Kalau ada yang menembak, yang ditembak kan saya, bukan pengawal, bukan ajudan. Jadi saya nggak pernah pakai ajudan. Cuma di rumah saya pasang CCTV, itu saja pengamanan yang saya lakukan.

Bagaimana Anda menyikapi kiriman hadiah atau ketika menghadiri acara pernikahan?
Ada satu atau dua yang mengirim parsel. Kalau nggak ketahuan pengirimnya, saya kasih ke RT-RW. Kalau tahu siapa pengirimnya, saya kirim balik. Kalau ke undangan pernikahan, setelah salaman dengan mempelai saya harus cepet pulang. Kalau pergi ke suatu tempat, harus ada yang mendampingi agar ada saksi kalau disangka berbuat hal yang nggak-nggak.

Pernah ada yang mencoba menyuap Anda?
Rasanya nggak ada yang berani. Ada sih yang mencoba melalui telepon, tapi saya jawabnya dengan becanda, lama-lama mereka ngerti. Anak dan istri juga sudah saya brief, kalau ada yang begini, jawab begini, kalau ada begitu jawab begini, dan harus tegas saja bilang nggak bisa, nggak usah pakai basa basi.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER