Jakarta, CNN Indonesia -- Sidang gugatan hak penyandang disabilitas dalam pemilihan umum digelar Mahkamah Konstitusi, Selasa (9/9). Dalam sidang, komunitas tuna netra memperjuangkan haknya dalam pemilu yang belum cukup definitif tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu.
"Pasal 142 ayat (2) tidak memiliki kepastian hukum bagi tuna netra tanpa pembatasan dan penafsiran yang jelas," kata kuasa hukum Asri Vidya Dewi saat sidang di Gedung MK, Jakarta, Selasa (9/9), seperti yang tecantum dalam risalah sidang.
Asri mewakili pemohon yang terdiri dari tiga organisasi tuna netra yaitu Ikatan Tuna Netra Muslim Indonesia (IPMI), Persatuan Olahraga Tuna Netra Indonesia (PORTI), dan Persatuan Tuna Netra Indonesia (PERTUNI).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketiganya menganggap pasal tersebut tidak cukup menjamin para penyandang disabilitas dalam menjalankan haknya. "Padahal, penyandang disabilitas, khususnya tuna netra hanya bisa membaca melalui huruf braille," ucap Asri.
Sementara itu, Asri menuturkan, berdasar pasal 7 ayat 1 dan pasal 8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat, hak penyandang disabilitas yang dilindungi oleh negara adalah hak-hak politik.
"Pasal 29A memastikan bahwa prosedur, fasilitas, dan bahan-bahan pemilihan bersifat layak, dapat diakses, serta mudah dipahami dan digunakan," ujar Asri.
Fasilitas tersebut dijelaskan dalam pasal 21 huruf b, yang meliputi fasilitas penggunaan bahasa isyarat, braille, komunikasi argumentatif, alternatif, serta alat dan bentuk komunikasi lainnya yang dapat dijangkau sesuai dengan pilihan penyandang disabilitas dalam interaksi resmi. Fasilitas tersebut, menurut Asri, tidak dijelaskan dalam UU Pemilu.
"Perlu diuji materiil terhadap pasal 142 ayat 2 UU Pemilu yang terbukti dan dengan meyakinkan tidak mencerminkan amanat konstitusi pasal 28 ayat 1, pasal 28I ayat 2, dan Pasal 28J ayat 1," kata Asri.
Merujuk pada data yang dibacakan Asri dalam persidangan, Kementerian Sosial pada 2010 mencatat jumlah penyandang disabilitas di Indonesia sebesar 11.580.117 orang dan 3.474.035 dari mereka adalah penyandang disabilitas tuna netra. Sedangkan yang memiliki hak pilih mencapai 1.754.689 jiwa.
"Data tersebut menunjukkan jumlah penyandang disabilitas tuna netra yang cukup signifikan. Sudah semestinya KPU memberikan perhatian agar hak penyandang disabilitas tuna netra tersebut tidak hilang dalam proses pemilu mendatang," ujar Asri.
Pihaknya meminta majelis hakim konstitusi untuk menerima gugatan tersebut. "Menyatakan Pasal 142 ayat 2 UU Pemilu dalam penjelasannya perlu diberi tambahan frasa mengenai alat bantu tuna netra, setidaknya berupa template Braille," kata Asri.
Menanggapi permohonan tersebut, hakim ketua persidangan mengatakan majelis menerima permohonan dan akan merapatkan pada sidang berikutnya. "Untuk sidang selanjutnya, Saudara tinggal menunggu pemberitahuan dari mahkamah," kata hakim ketua Aswanto yang dilanjutkan dengan menutup persidangan.