Jakarta, CNN Indonesia -- RUU Pilkada menarik perhatian publik manakala koalisi Merah Putih, yang mengusung Prabowo Subianto pada pemilu presiden, mendadak menuntut pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD. Padahal sebelumnya mereka, kecuali Demokrat, telah sepakat kepala daerah tetap dipilih langsung oleh rakyat.
Manuver poros Prabowo dalam pembahasan RUU Pilkada di DPR itu sontak mengundang reaksi, baik pro maupun kontra. Suara protes paling banyak terdengar adalah menolak penghapusan pilkada langsung oleh rakyat. Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama bahkan mengundurkan diri dari Gerindra karena menentang sikap partainya yang ingin mengembalikan kewenangan memilih kepala daerah ke DPRD.
Agar isu ini mudah dipahami pembaca, CNN Indonesia merangkum sejumlah informasi, yang lalu disajikan dengan gaya tanya jawab berikut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dari mana ide menghapuskan pilkada langsung berasal?Pemerintah. Awal 2012, pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri mengusulkan RUU Pilkada dibuat terpisah dari UU pendahulunya, yakni UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. UU Pemda kemudian dipecah menjadi tiga RUU, yakni RUU Desa yang sudah disahkan menjadi UU pada akhir 2013, RUU Pemda, dan RUU Pilkada.
Lewat RUU Pilkada, Kemendagri mengajukan perubahan sistem pilkada: gubernur dipilih melalui DPRD, namun bupati dan wali kota tetap dipilih langsung oleh rakyat. Alasan pemerintah hendak mengembalikan kewenangan memilih gubernur ke tangan DPRD didasarkan pada kajian mereka bahwa pelaksanaan pilkada langsung di daerah memicu konflik horizontal hingga menyebabkan kematian warga lokal.
Selain itu, pemerintah menganggap pilkada langsung memboroskan anggaran daerah. Biaya pencalonan kepala daerah dan kampanyenya amat mahal. Akibatnya, banyak kepala daerah terpilih terjerat kasus korupsi di kemudian hari. Kemendagri mencatat 332 dari 524 kepala daerah tersandung perkara hukum. Jumlah itu lebih dari 60 persen dari total kepala daerah di Indonesia.
Apakah pilkada lewat DPRD dapat meniadakan korupsi oleh kepala daerah?Tak ada jaminan. Komisi Pemberantasan Korupsi justru berpendapat pilkada tak langsung berpotensi membuat kepala daerah menjadi
mesin uang anggota DPRD setempat. Praktik suap-menyuap bisa makin subur. Pengusaha atau korporasi dapat dengan mudah menyogok anggota DPRD agar kepentingannya diloloskan, dan anggota DPRD lebih leluasa memeras kepala daerah.
Indonesia Corruption Watch berpendapat serupa. Pilkada oleh DPRD dapat
menyuburkan korupsi politik. Jika politik uang dalam pilkada langsung bersifat temporer atau sementara, maka korupsi politik dalam pilkada tak langsung bisa berlangsung sepanjang masa jabatan kepala daerah itu. Korupsi politik itu muncul dari balas jasa yang harus diberikan kepala daerah kepada DPRD yang telah memilihnya. Maka ujungnya, seperti kata KPK, kepala daerah akan menjadi mesin yang anggota DPRD yang merasa lebih berkuasa atasnya. Politik transaksional antara kepala daerah dan DPRD pun bakal menjamur.
Pilkada lewat DPRD juga bisa meniadakan kesempatan memunculkan pemimpin daerah yang berkualitas. Peluang tertutup bagi calon-calon potensial yang tidak direstui partai, tidak punya akses politik kuat dan modal besar, namun diinginkan rakyat.
Lebih buruk lagi, pilkada tak langsung dapat mematikan kontrol rakyat terhadap pemimpin daerahnya karena kontrak politik yang terjadi hanya antara kepala daerah dengan sesama elite partai di DPRD. Tak ada kontrak sosial dan kontrak politik antara pemimpin daerah dan masyarakatnya. Akibatnya kepala daerah bisa merasa tak punya tanggung jawab terhadap rakyat yang dipimpinnya karena ia tak dipilih langsung oleh mereka.
Lalu mengapa ngotot ingin kepala daerah dipilih DPRD?Ini terkait kursi kekuasaan. Populi Center menyatakan jika pilkada dilakukan oleh DPRD, maka
70 persen kursi kepala daerah di Indonesia akan dikuasai oleh koalisi Merah Putih. Ini balas dendam manis atas kekalahan mereka di Pemilu Presiden 2014.
Para kepala daerah kubu Merah Putih dikhawatirkan bakal sulit diatur oleh pemerintah pusat. Dengan menguasai daerah, bukan tak mungkin koalisi Merah Putih menjadi ganjalan serius bagi kerja pemerintah Jokowi-JK.
Apakah rakyat ingin pilkada langsung dihapus?Tidak. Hasil survei Lingkaran Survei Indonesia yang dirilis Selasa (9/9) menunjukkan mayoritas konstituen koalisi Merah Putih ingin
pilkada langsung dipertahankan. Sebanyak 81,53 responden menghendaki pilkada langsung. Hanya 8,79 persen yang ingin kepala daerah dipilih DPRD.
Lebih rinci lagi, pilkada langsung didukung oleh 81,20 persen pemilih Golkar, 80,77 persen pemilih Demokrat, 82,55 persen pemilih Gerindra, 80,23 persen pemilih PKS, 85,11 persen pemilih PAN, 76,66 persen pemilih PPP, dan 87,65 persen pemilih PBB.
Secara keseluruhan (bukan hanya konstituen koalisi Merah Putih), sebanyak 81,25 persen masyarakat setuju kepala daerah tetap dipilih langsung. Hanya 10,71 persen yang ingin pilkada oleh DPRD.
Survei LSI ini digelar 5-7 September dengan metode
quick poll terhadap 1.200 responden. Penelitian menggunakan
multistage random sampling dengan
margin of error 2,9 persen.
Apa ada cara agar pilkada langsung tak boros anggaran?Ada. Pemerintah telah menyiapkan langkah-langkah pembenahan. Untuk memangkas biaya, menekan praktik politik uang, dan mencegah korupsi kepala daerah, dua hal bisa dilakukan. Pertama, membuat aturan agar dana kampanye dibuat semurah mungkin. Kedua, pilkada langsung digelar serentak.
Pilkada serentak bisa menghemat anggaran hingga setengah dari biaya yang dikeluarkan saat ini,
Rp 70-100 triliun per tahun. Jumlah itu mencakup penyelenggaraan seluruh pilkada di Indonesia mulai pemilihan gubernur, wali kota, sampai bupati di 524 daerah di Indonesia.
Mengapa pemerintah kini mendukung pilkada langsung dipertahankan, padahal di awal pengajuan draf RUU ingin pilkada dilakukan lewat DPRD?Karena pemerintah mengikuti kehendak mayoritas rakyat Indonesia yang tetap menginginkan pilkada langsung. Pemerintah mengubah sikapnya secara bertahap. Di tengah proses pembahasan RUU, pemerintah sepakat gubernur tetap dipilih langsung, tapi meminta bupati dan wali kota dipilih DPRD.
Sebagian besar fraksi di DPR semula justru mendukung pilkada langsung. Posisi per Mei 2014 atau sebelum pemilu presiden, hanya dua dari total sembilan fraksi yang mendukung pemilihan bupati dan wali kota lewat DPRD, yaitu Demokrat dan PKB.
Melihat mayoritas fraksi menghendaki pilkada langsung tetap digelar di segala tingkat –provinsi, kabupaten, maupun kota, pemerintah akhirnya setuju mempertahankan pilkada langsung, baik untuk gubernur, bupati, dan wali kota.
Pemerintah memandang suara mayoritas fraksi di DPR sebagai aspirasi rakyat yang harus didengar. Oleh sebab itu pemerintah tak keberatan mencabut usulan pilkada lewat DPRD.
Sayangnya niat baik pemerintah ini menjadi percuma karena sebagian besar fraksi justru berubah sikap pasca pemilu presiden. Ketika pembahasan RUU Pilkada masuk tahap sinkronisasi awal September ini, empat fraksi yang semula mendukung pilkada langsung justru meminta pilkada dilakukan lewat DPRD.
Sampai hari ini tercatat ada enam fraksi yang menginginkan pilkada dilakukan lewat voting di DPRD. Kelimanya adalah koalisi Merah Putih. Hanya tersisa tiga fraksi –PDIP, PKB, dan Hanura– yang ingin pilkada langsung diteruskan. Khusus PKB, partai itu ingin pilkada langsung untuk gubernur, namun wali kota dan bupati dipilih DPRD.
Bagaimana nasib pilkada ke depannya? Lebih mungkin tetap digelar langsung atau oleh DPRD?Belum pasti. Pemerintah masih membujuk partai anggota koalisi Merah Putih untuk mendukung pilkada langsung, terutama karena tekanan rakyat terhadap mereka dalam seminggu terakhir semakin kuat untuk mempertahankan pilkada langsung.
Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri menyatakan akan konsisten memperjuangkan pilkada langsung, dan berjuang agar RUU Pilkada disahkan September ini. Bila RUU Pilkada batal disahkan karena tak ada titik temu antarfraksi yang berbeda sikap di DPR, maka 204 pilkada yang akan digelar 2015 terancam berjalan tanpa landasan hukum.
Karena fraksi-fraksi di DPR sampai sekarang belum mencapai kata sepakat, maka RUU Pilkada akan dibawa ke rapat paripurna DPR untuk divoting dua pekan lagi, Kamis (25/9), lima hari sebelum anggota DPR 2009-2014 mengakhiri jabatannya.
Hari ini, Kamis (11/9), bupati dan wali kota seluruh Indonesia yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) dan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) menggelar rapat besar untuk merapatkan barisan menolak pilkada oleh DPRD.
Bila RUU Pilkada disahkan menjadi UU dengan hasil kepala daerah dipilih DPRD, maka UU Pilkada akan digugat ke Mahkamah Konstitusi oleh berbagai kelompok masyarakat dan LSM.