Jakarta, CNN Indonesia -- Anggota komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Rieke Diah Pitaloka meminta Presiden Joko Widodo untuk mendukung kebijakan ketenagakerjaan Trilayak Rakyat Pekerja dalam pemerintahan mendatang.
"Konsep ini telah beberapa kali saya dan Pak Jokowi diskusikan. Ada kerja layak, upah layak dan hidup layak," Rieke menjelaskan kepada CNN Indonesia, Jumat (11/09).
Politisi dari Partai Demokrat Indonesia Perjuangan (PDI-P) ini mengatakan konsep Trilayak Rakyat Pekerja menjadi pernyataan politik yang disampaikan Presiden Terpilih Jokowi -sapaan akrab Joko Widodo- pada Hari Buruh Internasional 1 Mei 2014. Komitmen politik kuat dari Jokowi, dia melanjutkan, diperlihatkan dengan penandatanganan di atas materai Piagam Perjuangan Marsinah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di mata Rieke, agenda ketenagakerjaan yang harus dirintis dalam pemerintahan mendatang semestinya berbasis pada pemenuhan hak-hak dasar pekerja sesuai amanat konstitusi, bukan pada pemberi kerja. Pemerintah, ujarnya, harus bertanggungjawab dan kebijakan ketenagakerjaan juga tidak boleh terpisah dari upaya memperkuat industri nasional.
"Saya percaya Jokowi pemimpin yang berjuang untuk penuhi janji politiknya pada rakyat," ucapnya.
Mengenai desakan organisasi buruh beserta lembaga bantuan hukum kepada tim transisi untuk segera membentuk kelompok kerja (pokja) ketenagakerjaan, Rieke enggan mengkritisi. Dia hanya mengatakan tahun depan Indonesia akan memasuki ASEAN Economy Community (AEC) dan persoalan persaingan tenaga kerja menjadi hal penting dicermati secara khusus.
Selain itu, isu ketenagakerjaan mulai dari kontrak kerja, perjanjian bersama, upah, jam kerja dan jaminan sosial merupakan hasil kebijakan politik regulasi dan kebijakan politik anggaran yang dibahas dan diputuskan bersama oleh legislatif dan eksekutif.
"Para pakar yang ada di Rumah Transisi semestinya memahami hal ini," ujarnya.
Sementara itu, dihubungi terpisah, Melli Nuraini Darsa, praktisi hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia mengatakan persoalan ketenagakerjaan bermula dari buruknya hukum tenaga kerja di Indonesia.
"Tidak ada parpol yang berani revisi Undang-Undang Ketenagakerjaan tahun 2013. Padahal, itu timbulkan masalah baik untuk perusahaan dalam dan luar negeri," dia menjelaskan.
Berbeda dengan Rieke, Melli justru melihat UU tenagakerja di Indonesia terlalu pro buruh dan terlalu protektif. Oleh karena itu, banyak perusahaan asing yang enggan buat pabrik di sini, yang berarti mempersempit lapangan pekerjaan bagi tenaga kerja Indonesia.
"Tak hanya persoalan buruh yang menjadi masalah dalam relasi ketenagakerjaan di Indonesia tetapi juga hak pemberi kerja yang kerapkali terabaikan," perempuan yang pernah menjadi salah satu semifinalis calon ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini menutup pembicaraan.