Jakarta, CNN Indonesia -- Vonis hakim terhadap pencabutan hak politik terdakwa korupsi berlaku selamanya bagi koruptor tersebut. Hal tersebut karena majelis hakim memiliki pertimbangan tersendiri terhadap setiap kasus yang diadili.
Mantan Anggota Tim Pengacara Bibit-Chandra, Taufik Basari, menyatakan batas waktu pencabutan hak politik yang tercantum dalam KUHP maupun sejumlah peraturan tidak dapat diterapkan bagi terpidana korupsi yang divonis hakim. "Karena vonis hakim merupakan hukum itu sendiri," kata Taufik kepada CNNIndonesia.com, Selasa (16/9).
Untuk itu, lanjut Taufik, dirinya mendukung upaya pencabutan hak politik dengan meminta putusan hakim sehingga vonis itu yang akan menjadi pegangan dalam sebuah kasus. "Vonis pencabutan hak politik harus dilihat secara kasuistik sehingga sekalipun pidana penjara sudah dilakukan, vonis bahwa mereka tidak bisa menggunakan hak politik akan tetap berlaku," ujarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ketua DPP Partai Nasional Demokrat Bidang Hukum, Advokasi & HAM ini menambahkan, para politikus yang menjadi terpidana korupsi karena menyalahi kewenangan sebagai pejabat layak dicabut hak politiknya. "Vonis terhadap politisi yang seperti itu pantas. Putusan itu juga bisa menjadi peringatan bagi politisi yang lain untuk tidak bertindak koruptif," tegasnya.
Sejak tahun lalu KPK telah memasukkan tuntutan pencabutan hak politik bagi terdakwa korupsi yang berkecimpung dalam politik praktis di Indonesia. Sejauh ini telah ada dua vonis hakim berkekuatan hukum tetap yang menghilangkan hak politik terpidana yaitu bagi mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo dan mantan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq.
Pencantuman tuntutan pencabutan hak politik oleh KPK dilakukan berdasarkan sejumlah hal. Pertama, hal tersebut diatur dalam Pasal 18 huruf d Undang-Undang Pemberantasan Korupsi dan Pasal 10 poin b angka ke-1 KUHP. Sehingga dasar legalitas dilakukan penuntutan jelas diatur dalam undang-undang.
Kedua, karena terdapat benang merah antara kekuasaan politik dengan jabatan publik. Di Indonesia, untuk duduk dalam suatu jabatan publik, salah satunya bisa ditempuh melalui jalur politik yaitu menggunakan hak untuk dipilih dengan mencalonkan diri menjadi kepala daerah atau wakil rakyat di parlemen. Sehingga pencabutan hak politik dilakukan untuk mencegah ruang bagi seorang pelaku korupsi kembali ke kancah politik.
Taufik sependapat bahwa menjadi ironis jika pelaku korupsi yang secara nyata telah melakukan kejahatan publik masih diberikan kepecayaan dan ruang untuk berkuasa dalam jabatan publik. Apalagi pendidikan politik masyarakat masih rendah yang cenderung memilih uang (money politics) ketimbang figur. "Sehingga sangat pontensial mantan pelaku bisa kembali duduk dalam jabatan publik," katanya.
Berdasarkan data yang dirilis Indonesia Corruption Watch, terdapat 48 anggota dewan terpilih periode 2014-2019 tersangkut dalam perkara korupsi. Ke-48 orang tersebut di antaranya masih dalam proses penyidikan, proses persidangan, bahkan telah divonis pengadilan tindak pidana korupsi hingga Mahkamah Agung.
Mereka tersebar di 17 wilayah yaitu Sulawesi Selatan, Jawa Barat, DI Yogyakarta Jawa Timur, Lampung, Sumatera Utara, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Jakarta, Kalimantan Timur, Sumatera Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Banten, Jambi, Papua dan Papua Barat. Partai Demokrat merupakan partai terbanyak dengan kader yang terlibat korupsi namun kembali terpilih periode 2014-2019 sebanyak 13 orang, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 10 orang, Partai Golkar 10 orang, Partai Kebangkitan Bangsa lima orang, Partai Hanura tiga orang, Partai Persatuan Pembangunan dua orang, serta Partai Nasdem dan Partai Amanat Nasional masing-masing satu orang.