Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah tak menerima satu syarat yang diajukan Demokrat dalam mendukung pilkada langsung. Syarat itu adalah uji publik atas calon kepala daerah. Uji publik versi Demokrat ini memberikan kewenangan kepada tim penguji dari kalangan independen untuk memutuskan apakah bakal kandidat kepala daerah lolos atau tidak menjadi calon kepala daerah.
“Pemerintah tidak mau itu. Itu perbedaan kami dengan Demokrat. Tidak perlu uji publik memutuskan lolos atau tidaknya calon. Cukup untuk memberi keterangan calon kepala daerah telah melakukan uji publik,” kata Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi di gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (24/9).
Uji publik versi Demokrat, menurut Gamawan, justru rawan politik uang. “Calon bisa 'bermain' untuk mendapatkan surat lolos uji publik. Uji publik ini rentan dibayar,” kata dia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fraksi-fraksi lain di DPR juga menolak syarat Demokrat yang satu itu karena dianggap dapat menjegal calon kepala daerah potensial. “Misalnya ada petahana yang kuat, lalu muncul rivalnya yang potensial. Kami khawatir aturan itu bisa menjadi alat untuk menjegal,” ujar Ketua Panitia Kerja RUU Pilkada Abdul Hakam Naja.
PDIP pun berpendapat serupa. Menurut partai banteng itu, lolos atau tidaknya bakal calon menjadi calon kepala daerah adalah kewenangan Komisi Pemilihan Umum, bukan tim uji publik.
Posisi pemerintah saat ini tidak untuk mengakomodasi permintaan partai manapun, termasuk Demokrat. “Kami menunggu keputusan DPR saja secara keseluruhan,” kata Gamawan.
Ia berharap RUU Pilkada dapat disepakati dan diputuskan di tingkat Komisi II hari ini. Sejauh ini ada beberapa isu krusial yang masih perlu dibahas maraton sampai malam nanti oleh Komisi II dan DPR. Salah satunya apakah pilkada digelar langsung atau tidak langsung.
Soal draf RUU Pilkada yang sekarang berkembang menjadi empat, Gamawan mengatakan sesungguhnya pemerintah meminta paling banyak dua draf, yakni pilkada langsung atau lewat DPRD. “Sesungguhnya dua draf tersebut sudah diperbaiki. Sebagian besar usul Demokrat pun sudah kami masukkan ke situ,” kata mantan gubernur Sumatera Barat itu.
Isu lainnya yang harus dipecahkan apakah kepala daerah dan wakilnya diajukan sepaket atau tidak. Pemerintah meminta kepala daerah dan wakilnya tidak diajukan sepaket. Alasan utamanya, 94 persen pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah pecah kongsi di tengah jalan, sebelum masa pemerintahan mereka berakhir.
“Yang awet bersama sampai akhir hanya sekitar enam persen. Sisanya kurang akur,” kata Gamawan.
Tanpa sistem paket, wakil kepala daerah ditunjuk oleh kepala daerah. Dengan demikian wakil kepala daerah ditentukan belakangan ketika kepala daerah telah terpilih. Sistem ini diyakini pemerintah membuat wakil kepala daerah loyal ke sang kepala daerah.
“Wakil kepala daerah dimungkinkan dari partai politik maupun pegawai negeri sipil. Kalau PNS jadi wakil kepala daerah, tinggal mengundurkan diri dari PNS,” ujar Mendagri.