Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Hukum dan HAM dinilai telah melanggar peraturan, jika memberikan remisi kepada terpidana koruptor, tanpa mendapatkan persetujuan dari lembaga terkait.
Pengurangan masa pidana atau remisi untuk terpidana memang sudah menjadi hak yang jelas tersurat dalam pasal 14 ayat 1 Undang-Undang No.12 Tahun 1995 dan terkait dalam Peraturan pemerintah No.99 tahun 2012. Akan tetapi, kekuatannya kini mulai disilapkan oleh Kemenkum HAM dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan.
Hal itu diungkapkan Indonesia Corruption Watch, dengan melihat adanya pemberian Remisi ataupun Pembebasan Bersyarat yang diajukan oleh Dirjen PAS dan disetujui Kemenkum HAM, untuk terpidana kasus korupsi. Seperti diketahui, wacana penghapusan remisi untuk para koruptor saat ini sedang dikaji oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Masalah yang ada saat ini adalah pada implementasi dari Undang-Undang dan Peraturan pemerintah tersebut. Kementerian dan Dirjen terkait saat ini tidak patuh pada aturan,” ujar Divisi Hukum dan Peradilan ICW, Tama Satrya Langkun kepada CNN Indonesia, Kamis (25/9).
Dia menganggap, ada banyak orang yang tidak memiliki kredibilitas, yang ada di kementerian saat ini. Tama mencontohkan, hal itu dapat dilihat dengan diberikannya Pembebasan Bersyarat kepada terpidana korupsi Hartati Murdaya.
Tama memaparkan, pada awalnya remisi dan pembebasan bersyarat dapat diberikan kepada terpidana yang sudah memenuhi masa hukuman tertentu dan juga berkelakuan baik. Akan tetapi, ada dua syarat lain yang, belakangan ini, mulai diabaikan oleh Kemenkum HAM dan juga Dirjen PAS, berkenaan dengan pemberian remisi dan PB kepada koruptor ataupun teroris.
“Harus ada surat pernyataan secara tertulis dari aparat hukum. Selain itu, rekomendasi dari lembaga hukum seperti KPK itu sifatnya wajib. Dan keempatnya itu adalah kesatuan yang harus dipenuhi dalam memberikan remisi ataupun PB,” kata Tama.