Jakarta, CNN Indonesia -- Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut Bupati Biak Numfor Yesaya Sombuk dengan hukuman enam tahun penjara atas penerimaan suap dalam proyek tanggul laut.
"Kami penuntut umum meminta majelis hakim, pertama, memutuskan Yesaya Sombuk terbukti melakukan korupsi berlanjut. Kedua, menjatuhkan hukuman pidana enam tahun dan denda Rp 250 juta rupiah, subsidair lima bulan kurungan," kata Jaksa Chairuddin saat sidang pembacaan amar tuntutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (29/9). Selain itu, jaksa juga menuntut pencabutan hak politik Yesaya untuk tidak dipilih dalam jabatan publik.
Menurut jaksa, Yesaya telah menerima suap dari Direktur PT Papua Indah Perkasa Teddy Renyut sebanyak 100 ribu dollar Singapura. Suap dilangsungkan untuk memuluskan proyek tanggul laut di Kabupaten Biak Numfor dari Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tuntutan tersebut, diungkapkan jaksa, dibuat berdasarkan hal yang memberatkan dan meringankan. "Hal yang memberatkan adalah (tindakan) dilakukan saat negara sedang giatnya melakukan pemberantasan korupsi," kata jaksa. Sementara itu, beberapa hal yang meringankan adalah Yesaya belum pernah dihukum, mengakui, dan menyesali perbuatannya.
Menanggapi tuntutan tersebut, kuasa hukum Yesaya mengajukan keberatan. "Kami akan mengajukan dua nota pribadi dari Yesaya dan kuasa hukum," kata kuasa hukum Yesaya, Rahman Ramli, saat sidang. Nota pribadi tersebut akan dibacakan di sidang selanjutnya, pada Senin (13/10) mendatang.
Dalam persidangan itu, jaksa juga membeberkan mengenai permintaan uang sebesar Rp 600 juta yang diajukan oleh Yesaya kepada Teddy Renyut. “Sekitar awal Juni 2014, terdakwa (Yesaya) menguhubungi kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Biak Numfor Yunus Safemblolo untuk menghubungi Teddy Renyut meminta uang sebesar 600 juta." ungkapnya.
Jaksa melanjutkan, kala itu, Teddy tidak memiliki uang untuk memenuhi permintaan Yesaya, yang diajukan melalui Yunus. Namun, Teddy dapat mengupayakannya dengan meminjam fasilitas kredit lewat sebuah bank. "Teddy mengatakan 'kalau kaka ada pekerjaan yang pasti, saya bisa kreditkan'. Terdakwa menjawab, 'kalau ada proyek, kau yang kawal'," ujar jaksa Chaeruddin saat sidang.
Fakta tersebut didapat saat persidangan dari keterangan saksi antara lain Yunus Salemblofo, Teddy Renyut, dan istrinya Spriti Hariyani. Selain itu, jaksa juga menyertakan alat bukti berupa rekaman CCTV dan beberapa dokumen Kementerian PDT.
Pada tanggal 13 Juni 2014, Yesaya telah menerima uang sebanyak 63 ribu dollar Singapura. Lantaran Yesaya masih membutuhkan uang lebih, dia kemudian meminta Yunus agar menghubungi Teddy kembali. Pada tanggal 16 Juni 2014, Teddy menyerahkan kembali uang sebanyak 37 ribu dollar Singapura. Pada saat pemberian kedua itulah penyidik KPK berhasil menangkap keduanya. Kala itu, mereka ditangkap di 715 Hotel Acacia, Jalan Kramat Raya, Jakarta Jakarta.
Uang tersebut digunakan Yesaya untuk beberapa hal. Di antaranya membayar akomodasi dan transportasi sejumlah saksi yang dihadirkan saat dirinya bersengketa di Mahkamah Konstitusi 2013 lalu. Sengketa tersebut merupakan sengketa Pilkada yang diajukan oleh rivalnya yang kalah, Habel Rumbiak dan Festus Wompere. Rivalnya menggugat keputusan KPU pada September 2013 yang menetapkan Yesaya sebagai Bupati Biak Numfor terpilih.
Atas tindak pidana tersebut, Yesaya didakwa primer melanggar pasal 12 huruf a UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto pasal 64 KUHPidana. Ia juga dijerat pasal 5 ayat 2 dan pasal 11 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto pasal 64 ayat 1 KUHPidana. Dalam pasal tersebut, ditegaskan bahwa penyelenggara negara tidak dizinkan menerima hadiah atau janji untuk menggerakkan agar melakukan sesuatu pada jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.