Jakarta, CNN Indonesia -- Mahkamah Konstitusi menggelar sidang lanjutan soal pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun yang diujikan oleh terpidana korupsi proyek normalisasi lahan tercemar PT Chevron Pacific Indonesia Bachtiar Abdul Fatah. Saksi ahli hukum pidana Mudzakir mengatakan pengelolaan limbah berbahaya harus mendapatkan izin dari pemerintah.
"Pengelolaan limbah berbahaya tidak boleh dilakukan kecuali jika mendapatkan izin. Pihak yang tidak mendapat izin, tidak boleh mengelola," ucap Mudzakir saat sidang di Gedung MK, Jakarta, Selasa (30/9).
Guru besar Universitas Islam Indonesia tersebut mengatakan jika sebuah korporasi tidak bisa mengelola limbah sendiri, maka harus diserahkan ke pihak lain. Meski demikian, pihak lain juga harus mendapatkan izin dari pemerintah baik menteri, gubernur, atau bupati/walikota.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Izin pengelolaan limbah berbahaya sebagai bentuk standarisasi pengelolaan limbah yang disusun berdasarkan ilmu pengetahuan untuk mencegah dampak pencemaran hidup dan kesehatan manusia untuk melindungi kehidupan mansuia," tuturnya dalam menafsirkan pasal 59 ayat 4 UU Nomor 32 Tahun 2009 yang diujikan ke MK.
Selain mengujikan pasal 59 ayat 4, Abdul Fatah juga mengujikan pasal 95 ayat 1 dan pasal 102. Dalam pasal 102, hukuman pidana maksimal tiga tahun dan denda maksimal Rp 3 miliar, menurutnya memuat prinsip hukum yang dibutuhkan untuk menegakkan hukum. Ia juga menambahkan, perizinan pengelolaan limbah sudah seharusnya dikeluarkan bersamaan ketika izin perusahaan dikeluarkan. "Ini tidak boleh dipertentangkan," ucapnya.
Senada dengan saksi ahli, saksi Ahmad Safruddin dalam sidang mengatakan pengelolaan limbah berbahaya seperti peleburan aki bekas yang tidak sesuai standar dapat mencemarkan lingkungan dan mengancam kesehatan masyarakat melalui beragam penyakit seperti ISPA, asma, bronkhitis, peradangan mata, cacat fisik, dan sebagainya.
"Limbah minyak jauh lebih kompleks dari limbah peleburan aki bekas. Minyak justru bisa menyebabkan kematiann," ucap Ahmad ketika ditemui usai sidang. Menurut aktivis Komite Penghapusan Bensin Bertimbel ini, pengolahan limbah minyak mengandung emisi hidrokarbon yang berbahaya bagi kesehatan.
"Prinsip kehatian-hatian harus dilakukan melalui perundang-undangan. Proses ketataatan dan penegakan hukum perlu," ucapnya mengakhiri kesaksian di persidangan.
Menanggapi pemaparan saksi ahli dan saksi pemerintah, hakim anggota Aswanto menanyakan ihwal proses perizinan pengolahan limbah. "Apabila sebelumnya sudah punya perizinan, perizinan habis tapi tetap melakukan pengolahan limbah, apakah tetap dimintakan pertanggungjawaban?
Mudzakir menjawab ada berbagai pertimbangan yang bisa diambil terkait kasus tersebut. "Mempertimbangkan kepentingan puiblik, kepentingan proses berizinan, dan kepentingan hukum administrasi. Hukum ditegakkan berdasar aturan tertib hukum dan keadilan, di situ lah pentingnya keterlibatan manusia sebagai ruang bijaksana," ucapnya.
Sebelumnya, General Manager Sumatra Light South PT CPI Bachtiar Abdul Fatah,merasa pasal tersebut merugikan hak konstitusionalnya. Menurutnya, peraturan tentang izin yang berasal dari menteri, gubernur, atau bupati/walikota ihwal pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun dalam pasal 59 ayat 4, berpotensi merugikan pihaknya.
Pasalnya, bisa saja karena alasan tertentu pihak-pihak tersebut tidak dapat mengeluarkan izin. Abdul juga berpendapat bahwa penegakan hukum terpadu pada pasal 95 ayat 1 berpotensi munculnya tindakan aparat penegak hukum yang sewenang-wenang. Di samping itu, sanksi apabila mengolah limbah tanpa izin yang terdapat pada pasal 102 dianggap memberatkan dirinya. Menurutnya, sanksi administratif sudah cukup alih-alih menjatuhkan denda Rp 3 miliar dan pidana tiga tahun penjara.