Jakarta, CNN Indonesia -- Surat tantangan itu terdengar lantang. Pada 14 Oktober 2012, Santoso yang mengklaim dirinya sebagai Amir Mujahidin mengeluarkan gertakan. Melalui surat tantangan, ia berseru pada Detasemen Khusus 88.
"Kami selaku Mujahidin gugus tugas Indonesia Timur menantang densus untuk berperang secara terbuka dan jantan, Mari berperang secara laki-laki!" kata Santoso dalam surat tantangannya yang dilansir dalam buku "Dinamika Baru Jejaring Teror di Indonesia", yang ditulis Kepala Badan Nasional Penanggulangan Teror, Ansyaad Mbai.
Tantangan Santoso ini sebenarnya buah dari operasi penangkapan dan penembakan yang dilakukan detasemen antiteror kepada kelompok garis keras Islam itu sepanjang 2012. Benar saja, tak lama dari itu, sekitar sepekan dari pelayangan surat tantangan, sebuah bom meledak di sebuah pos lalu lintas di Kabupaten Poso, akibatnya tiga orang terluka.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pergerakan kelompok Poso ini memang aktif sekali," ujar Ansyaad saat berbincang dengan CNN Indonesia, sekitar sebulan lalu di kantornya. Hingga saat ini, tambahnya, "Poso merupakan ladang teror paling subur jika dihitung lima tahun ke belakang. Populasi orang mermigrasi ke sana pun banyak sekali."
Rupanya penilaian sang jenderal benar, akhir pekan lalu suara tembakan menyalak-nyalak di wilayah Gunung Biru, Desa Tamanjeka, Kecamatan Poso Pesisir, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Pasukan gabungan TNI dan kepolisian terlibat baku tembak dengan kelompok Santoso. Hasilnya, ratusan amunisi dan puluhan bom pipa, kompas dan GPS berhasil ditemukan dari sebuah gubuk.
Rentetan kejadian bentrok, penangkapan hingga ledakan bukan sekali dua kali terjadi di Poso. belasan bom sudah meledak di sana puluhan orang sudah diciduk dari rumahnya.
 |
Kepala BNPT Ansyaad Mbai |
"Poso itu ibarat magnet bagi kelompok garis keras," kata Ansyaad. "Sebab selain topografi yang menarik untuk digelarnya pelatihan militer, warga yang kondusif juga jadi daya tarik."
Kekisruhan seolah tak pernah berhenti di Poso, Sulawesi Tengah. Sejak terpantik konflik berlatar agama pada 1998, daerah itu kini menjadi basis utama kelompok garis keras Islam di Indonesia yang menamai diri mereka sendiri dengan Mujahidin Indonesia Timur. Berdasarkan Setidaknya sekitar seribu lebih anggota kelompok garis keras berkumpul di sana. Mereka datang dari berbagai kota, dari mulai Aceh hingga Bima.
Hal ini dibenarkan oleh pengamat teror, Al Chaidar. Menurutnya, kondusifnya Poso bagi para mujahidin -sebutanya bagi para kelompok garis keras itu- bermula ketika konflik agama membakar wilayah itu. "Warga yang berkonflik merasa berhutang budi dengan kehadiran 'saudara' mereka dari Jawa," katanya. Walhasil, warga di sana akhirnya seolah menyediakan selubung bagi para anggota kelompok teror di Poso.