Jakarta, CNN Indonesia -- Dukungan warga merupakan penyebab bertumbuh suburnya kelompok teoris di Poso sejak 14 tahun silam. Eksistensi para teroris itu dilindungi, lantaran mereka dinilai telah membela masyarakat muslim Poso saat warga hadapi konflik horizontal.
Berdasar data sebuah penelitian, menurut Pengamat Terorisme dari Universitas Malikussaleh Aceh, Al Chaidar, jumlah anggota kelompok teror di Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, saat ini sudah mencapai lebih dari 1900 orang. Sikap permisif masyarakat atas keberadaan kelompok muslim separatis itu menjadi pangkal terus berkembangnya jaringan teroris.
Chaidar memastikan jumlah tersebut jelas menunjukan perkembangan yang pesat dari kelompok teroris di Poso. Pada tahun 2000, katanya, keberadaan kelompok garis keras di Poso hanya terdiri dari 160 orang. Sedangkan lima tahun kemudian, pada tahun 2005, jumlah mereka bertambah menjadi 600 orang. “Dan jumlah mereka sekarang sekitar 1900 sampai 2000 orang,” katanya saat dihubungi CNN Indonesia, Selasa (30/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Chaidar, pertambahan angka tersebut disebabkan oleh dua hal. Dukungan yang diberikan oleh masyarakat kepada kelompok teroris di sana, membuat kelompok-kelompok tersebut dapat tumbuh dengan mudahnya dari tahun ke tahun. Dia menceritakan, ihwal pemberian dukungan tersebut dimulai sejak tahun 2000 silam.
 |
Petugas berjaga di sebuah rumah yang sedang digeledah detasemen antiteror di Sulawesi Tengah. (Detikfoto/Zainudin MN) |
Kala itu, konflik komunal yang dipicu oleh Tibo Cs mendapat perlawanan dari mujahid-mujahid asal Bima dan Jawa Tengah yang hijrah ke Poso. Warga muslim yang diserang oleh tiga warga rantau asal Flores tersebut merasa dilindungi dengan adanya mujahid di Poso. Tidak hanya itu, anggapan mengenai keberpihakan polisi setempat kepada kelompok non-muslim, disebut Chaidar, juga sebagai pemicu didukungnya kelompok teroris oleh masyarakat muslim Poso.
“Mereka dapat dukungan dari masyarakat karena polisi lebih dekat dengan kelompok non-muslim. Keberhasilan mujahid merampas senjata dari polisi juga dianggap sebagai sisi kepahlawanan mujahid di mata masyarakat Poso,” kata Chaidar. Lewat aksi para mujahid itu masyarakat Poso merasa dibantu dan ingin saling melindungi.
Untuk sebagian masyarakat muslim Poso, keberadaan Pemerintah Daerah tidak dianggap oleh mereka. Mereka menilai, Pemerintah Daerah Sulawesi Tengah sejak tahun 2000 tidak memprioritaskan unsur keamanan warga Poso.
Berkenaan dengan temuan adanya pembantaian seorang petani di Poso, pada Kamis (18/9) lalu, Chaidar meyakini pembantaian tersebut sebagai bentuk ancaman balik para kelompok teroris kepada masyarakat. Tidak hanya itu, bentuk ancaman seperti ini, kata Chaidar, merupakan bentuk strategi khas dari paham yang dianut oleh ISIS.
“Adanya pembantaian masyakarat menjadi strategi yang khas. Mereka menjadikan itu ancaman untuk masyarakat penghianat, yang diduga jadi mata-mata. Itu terjadi setelah MIT (Mujahidin Indonesia Timur) masuk ISIS,” ujarnya.