Buah Problematika Otonomi Daerah

CNN Indonesia
Selasa, 07 Okt 2014 20:26 WIB
Alih-alih memahami ruhnya, banyak peraturan muncul menyimpang dari makna otonomi daerah. Bahkan menyuburkan intolenransi dan diskriminasi.
Peneliti senior LIPI, Siti Zuhro (Detikfoto/Hasan Alhabshy)
Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Otonomi daerah yang diterapkan tahun 1999 kembali melahirkan problematika. Keleluasaan yang diberikan oleh pemerintah pusat kepada daerah untuk mengatur wilayah masing-masing dan membuat kebijakan publik masih dimaknai secara sempit oleh kepala daerah atau pejabat daerah yang berwenang.

Alih-alih menghasilkan produk kebijakan yang berkualitas dan memahami ruh otonomi daerah, peraturan-peraturan yang muncul di daerah banyak yang menyimpang dari makna otonomi daerah. Hal ini disimpulkan berdasarkan dari penelitian saya bersama dengan teman-teman di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) terhadap pelaksanaan otonomi daerah.

Makna otonomi daerah semestinya ditafsirkan bukan sekadar otoritas melainkan upaya-upaya untuk meningkatkan pendapatan daerah, mewujudkan tata kelola pemerintah yang bersih, peningkatan kualitas pelayanan publik hingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tapi, pada tataran praktiknya, masih ditemui sejumlah perda yang ternyata mengaburkan makna-makna demokrasi dan membesarkan peluang intoleransi serta diskriminasi bagi kelompok masyarakat minoritas.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebagai salah satu upaya untuk menunjukkan ciri khas daerah, pemerintah daerah juga mulai menciptakan perda dengan menggunakan pendekatan syariah Islam, yang diterapkan tak hanya pada tingkat Provinsi tetapi juga tataran kabupaten dan kota.

Sebut saja yang baru disahkan oleh Pemerintah Daerah Istimewa Aceh pada 27 September lalu, yakni Qanun Jinayat dan pokok-pokok syariat Islam. Qanun tersebut memuat peraturan mengenai tata cara perilaku Islami bagi perempuan Aceh seperti larangan keluar malam tanpa ditemani muhrim, kewajiban mengenakan jilbab hingga larangan mengenakan celana jins dan baju ketat.

Perda syariat seperti ini juga menggunakan pendekatan sangsi hukum dari sisi agama, seperti penggunaan hukuman cambuk bagi mereka yang melanggar peraturan tersebut. Warga, menurut perda ini, memiliki dua pilihan sangsi antara cambuk atau membayar denda berupa sejumlah emas.

Sayangnya, perda dengan pendekatan agama seperti demikian hanya merugikan dan memunculkan pengekangan terhadap kaum perempuan. Dengan demikian, agama di sini telah dijadikan komodifikasi politik sejumlah elit yang mengaburkan makna otonomi daerah itu sendiri yang pro demokrasi dan berbhineka tunggal ika.

Semestinya, pembuatan peraturan daerah perlu dibenahi dan pemerintah pusat semestinya bisa memberikan pemahaman kepada kepala daerah agar tidak membuat peraturan yang melanggar dengan makna otonomi daerah serta peraturan perundangan diatasnya. Pihak kementerian, dalam hal ini, kementerian dalam negeri (kemendagri) juga semestinya tidak hanya memberikan undang-undang dan peraturan pemerintah lalu melepas begitu saja daerah.

Saya selalu menyuarakan pentingnya kordinasi, bimbingan, pengawasan dan sinergi pemerintahan terutama bagaimana kita bisa menegakkan hukum di era demokrasi ini suapaya ada karakter demokrasi di daerah yang betul sehat. Saya juga mengapresiasi upaya pemerintah dengan mengeluarkan peraturan pemerintah No. 19 tahun 2010 di mana pemerintah pusat memberikan peringatan kepada provinsi untuk menghasilkan peraturan yang efektif, termasuk di dalamnya panduan hukum mengenai perda-perda mana yang boleh dan tidak boleh.

Selebihnya, saya berharap agar pemerintah juga memiliki pengawasan yang melekat seperti diterapkan oleh negara-negara lain mengenai kepastian hukum dan terus mengawal penerapan perda-perda yang masih bermasalah hingga saat ini.

*Siti Zuhro, Peneliti Senior LIPI
LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER