GUGATAN PENCUCIAN UANG

Gerakan Baru Para Koruptor

CNN Indonesia
Rabu, 08 Okt 2014 09:31 WIB
Gugatan UU TPPU memasuki tahap mendengarkan keterangan pihak terkait dan ahli. PPATK menilai gugatan ini adalah langkah radikal koruptor yang menolak dihukum.
Bekas Ketua MK Akil Mochtar. (detikFoto/Rengga Sancaya)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sidang gugatan uji materi Undang-Undang Pencucian Uang kembali bergulir di Mahkamah Konstitusi untuk mendengarkan pihak terkait dan sejumlah ahli. Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan menyebut gugatan tersebut sebagai sebuah gerakan terobosan yang dilakukan para koruptor untuk mengelak proses hukum pidana.

"Menggugat untuk membatalkan undang-undang merupakan langkah radikal dan gerakan baru dari koruptor. Mereka tidak lagi mencari keadilan lewat proses hukum, tetapi menggugat aturan yang menyeret mereka," kata Wakil Kepala PPATK Agus Santoso kepada CNN Indonesia, Rabu pagi (8/10).

PPATK akan menjadi salah satu pihak terkait yang dimintai keterangan oleh Majelis Hakim Konstitusi dalam sidang lanjutan gugatan uji materi UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Selain PPATK, sidang di MK yang dijadwalkan berlangsung Rabu siang (8/10) juga akan menghadirkan pihak Komisi Pemberantasan Korupsi dan sejumlah ahli. Gugatan tersebut dilakukan oleh bekas Ketua MK Akil Mochtar setelah dirinya divonis penjara seumur hidup setelah terbukti korupsi dan melakukan pencucian uang.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Agus, gugatan yang diajukan Akil ditujukan kepada pasal-pasal yang sangat substantif yaitu kriminalisasi terhadap pelaku aktif maupun pelaku pasif, pasal tentang penanganan pidana pencucian uang yang tidak membutuhkan bukti dari pidana asal, sistem pembuktian terbalik dari terdakwa dalam pengadilan, serta kewenangan Jaksa KPK dalam melakukan tuntutan kumulatif untuk korupsi dan TPPU.

"Padahal UU TPPU ini universal, setiap negara punya ketentuan ini. Dalil yang diajukan Akil itu sebetulnya umum dan kosakata hukum yang berlaku universal," ujar Agus.

Dalam persidangan di MK Rabu siang nanti, lanjut Agus, PPATK akan menyampaikan sejumlah poin. Pertama, korupsi merupakan kejahatan extraordinary di mana dalam tipilogi kasus di Indonesia para koruptor pasti melakukan pencucian uang.

Mereka tidak lagi mencari keadilan lewat proses hukum, tetapi menggugat aturan yang menyeret merekaAgus Santoso
Kedua, kewenangan KPK dalam menuntut kasus pencucian uang sudah memiliki yurisprudensi dari Hakim Agung yang menolak kasasi untuk perkara bekas Anggota Badan Anggaran DPR 2009-2014 Wa Ode Nurhayati, bekas Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo, dan bekas Presiden Partai Keadilan Sejahter Luthfi Hasan Ishaaq.

"Yurisprudensi ini harus bisa dihargai oleh MK sebagai praktik peradilan yang sudah berlangsung dan berkekuatan hukum tetap. Vonis kasasi MA itu menguatkan langkah yang selama ini dilakukan KPK," Agus menegaskan.

Agus menambahkan, terhadap pasal yang tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa Jaksa KPK berwenang menuntut pencucian uang, UU TPPU dapat direvisi untuk menambah kewenangan KPK. Meski pun hal tersebut. tidak perlu menghambat KPK menuntut kasus pidana pencucian uang yang saat ini sudah berproses di lembaga antikorupsi itu.

Diketahui, sidang perdana gugatan uji materi UU TPPU telah dilakukan 29 Agustus lalu. Akil Mochtar melalui kuasa hukumnya menyatakan KPK tak berhak menuntut kasus cuci uang. Akil juga menyebut tindak pidana asal harus dibuktikan dahulu sebelum mengusut TPPU.

Pihak Akil Mochtar mendalilkan jika tindak pidana asal atau predicate crime belum jelas, maka tidak bisa disidik sebuah kasus pencucian uang, karena tidak ada bukti yang kuat. Tercantumnya pasal tersebut, menyebabkan banyak harta kekayaan Akil yang secara nyata tidak ada kaitan dengan tindak pidana asal, lantas dirampas untuk kekayaan negara. 

Polemik pembuktian tindak 'pidana asal' ini juga menjadi pembahasan di berbagai sidang kasus korupsi dan TPPU lain seperti sidang mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dan kasus simulator SIM Djoko Susilo. Pakar hukum pidana juga memiliki versi masing-masing. Seperti halnya yang disampaikan oleh pakar hukum dari Universitas Islam Indonesia, Mudzakir. 

LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER