Jakarta, CNN Indonesia -- Praktik pungutan liar di 13 sekolah di Sulawesi Utara pada masa Penyelenggaraan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) mencapai Rp 500 juta, menurut temuan dari Ombudsman Republik Indonesia (ORI). Temuan ini menunjukkan maladministrasi dalam bidang pendidikan masih menjadi persoalan nomor satu yang perlu diperhatikan oleh pemerintah.
“Uang tersebut kemudian dikembalikan pihak sekolah dan diawasi langsung pengembaliannya oleh ORI,” Budi Santoso, Ombudsman Bidang Penyelesaian Laporan, mengatakan seperti dikutip dari rilis, Rabu (8/10).
Berdasarkan rilis yang diterima oleh CNN Indonesia, ORI menemukan 242 temuan maladministrasi di 33 provinsi selama periode Juni hingga Agustus 2014. Dari jumlah tersebut, praktik pungli atau pungutan uang secara tidak resmi menduduki posisi pertama pada temuan maladministrasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Sebanyak 38,4 persen dari 242 temuan maladministrasi merupakan praktik pungli di tingkat sekolah,” kata Budi.
Sementara itu, praktik penyimpangan prosedur dan ketidakkompenten menempati posisi kedua dan ketiga dari temuan ORI. Lebih lanjut, Budi mengatakan praktik pungli yang ditemukan ORI berwujud keharusan membeli seragam (10,7%) di Makassar, Sulawesi Selatan, pendaftaran ulang siswa baru (9,5%) di Banda Aceh dan Surabaya serta biaya sarana dan prasarana (8,7%) di Gresik. Tak hanya itu, sekolah juga mewajibkan muridnya untuk mengikuti tes IQ dan pembelian map dari sekolah.
Budi mengatakan jumlah pungli umumnya bervariasi mulai dari Rp 500 ribu per siswa yang dilakukan oleh lebih dari 40 sekolah di seluruh Indonesia dengan siswa sekitar 400 siswa per sekolah. “Jika dikalkulasikan, jumlah pungli bisa mencapai miliaran rupiah,” kata dia.
Sementara itu, Retno Listyarti dari Federasi Guru Seluruh Indonesia (FGSI) mengatakan persoalan pungli umumnya muncul ketika sekolah-sekolah terutama di daerah tidak memiliki biaya operasional siswa yang cukup untuk menanggung beban seragam dan sarana prasana murid. Alhasil, uang kemudian dibebankan kepada orangtua murid yang bersangkutan.
“BOS siswa kan diambil dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Tiap daerah beda-beda porsinya,” dia mengatakan saat dihubungi CNN Indonesia.
Tak hanya itu, terkadang banyak juga sekolah yang menerapkan kewajiban bagi murid-muridnya untuk mengenakan seragam olaharaga atau batik dengan emblem sekolah bersangkutan. Mau tidak mau, orangtua murid mesti membeli seragam tersebut dari sekolah.
“Baju-baju seragam khas sekolah itu kan tidak dijual di pasar. Gimana siswa bisa beli kalau gak di sekolah?” kata dia.
Retno melanjutkan jika pemerintah tidak mau adanya pungutan sekolah pada siswa terkait seragam semestinya pemerintah merevisi peraturan kementerian pendidikan dan kebudayaan (permendikbud) No. 45 tahun 2014 tentang seragam sekolah yang memberikan ruang dan bahkan mendorong sekolah untuk mewajibkan adanya seragam sekolah khas.
“Revisi saja undang-undang tersebut biar sekolah di daerah tidak lagi bebankan uang seragam ke orangtua murid,” kata dia menegaskan.