Jakarta, CNN Indonesia -- Masih maraknya pungutan tidak resmi yang dikenakan oleh sekolah negeri di seluruh Indonesia dinilai oleh Ombusdman Republik Indonesia (ORI) sebagai imbas dari lemahnya peraturan menteri yang mengatur tentang larangan pungutan liar.
Kepala Divisi Penyelesaian Laporan dan Aduan ORI, Budi Santoso, mengatakan kepada CNN Indonesia peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) no. 44 tahun 2012 mengenai Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan Pada Satuan Pendidikan Dasar sering dijadikan sebagai rujukan untuk pungutan liar yang dikenakan oleh sekolah negeri.
"Peraturan ini dijadikan rujukan bagi satuan sekolah sebagai legitimasi mereka menarik pungutan ke siswa," dia menjelaskan pada Kamis (9/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Budi mengatakan padahal enam bulan sebelumnya, Kemendikbud, sempat mengeluarkan permendikbud No. 60/2011 mengenai larangan pungutan di sekolah. Tetapi, katanya, peraturan tersebut dicabut kembali oleh Menteri M. Nuh dan digantikan oleh peraturan baru pada Juni 2012.
"Saat itu saya sempat tanya kenapa ke Kemendikbud. Tapi, katanya ada kebutuhan pendidikan. Jawabannya normatif sekali," dia mengatakan.
Namun, kata Budi, ada pihak yang mengatakan peraturan mengenai larangan pungutan dicabut akibat adanya tekanan kuat dari pihak sekolah swasta dan yayasan pendidikan ternama. "Ini aneh. Dilarang saja masih potensi menyimpang. Malah dikasih jalan," ujar dia.
Oleh karena itu, Budi tidak heran kalau pungutan liar menjadi pelanggaran nomor satu dari temuan kasus Ombudsman RI pada penerimaan siswa baru pada 2014 ini.
Sementara itu, pengamat pendidikan HAR Tilaar mengatakan umumnya sekolah menarik uang iuran untuk pembangunan gedung serta fasilitas perlengkapan sekolah akibat tidak memadainya dana bantuan operasional sekolah (bos). Dana BOS diinisiasi oleh Kemendikbud pada 2012 untuk mengurangi jumlah pungutan yang dibebankan sekolah kepada orangtua siswa. Tetapi, pada praktiknya, jumlah pungutan masih saja besar diluar telah diberikannya dana BOS bagi setiap siswa dengan jumlah Rp 580 ribu per siswa untuk SD atau SDLB dan Rp 710 ribu per siswa untuk SMP/SMPLB/SMPT.
Namun, meski jumlahnya tidak memadai, Tilaar beranggapan tidak semestinya sekolah bisa dengan semena-mena menarik pungutan. "Besarannya meski disetujui oleh rapat dengan komite sekolah dan wakil orangtua siswa. Tambahan, tidak bisa memaksa sifatnya," dia menegaskan. "Jangan sampai tidak bisa bayar tidak boleh ikut ulangan atau ujian."
Tilaar juga mengatakan pihak Kemendikbud semestinya juga bisa bersifat tegas dan mendesak sekolah untuk bisa lebih transparan ihwal pengelolaan dana BOS serta rincian iuran yang dikenakan kepada setiap siswa mereka. "Sayangnya, saat ini, hal itu belum maksimal," kata dia.
Sebelumnya, Ombudsman RI menemukan 242 kasus maladministrasi selama periode penerimaan siswa baru pada Juni hingga Agustus di 33 provinsi di Indonesia. Dari keseluruhan pelanggaran tersebut, pungutan liar menempati urutan pertama dengan modus seperti penarikan biaya seragam, biaya gedung, biaya pendaftaran ulang, iuran komite sekolah hingga biaya tes IQ.