Jakarta, CNN Indonesia --
"Sudah ada dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), kenapa masih ada pungutan?" Kalimat menohok tersebut merupakan tajuk yang diutarakan dalam sebuah petisi di sebuah situs oleh Yayasan Satu Karsa Karya (YSKK) di Surakarta, Solo.
Petisi tersebut pada intinya menggalang dukungan masyarakat untuk menghentikan pungutan liar wajib yang banyak dibebankan kepada orangtua siswa pada masa Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) periode Juni hingga Agustus lalu.
YSKK sendiri merupakan sebuah organisasi independen yang didirikan pada 2001 oleh sekelompok penggiat pemberdayaan masyarakat dan bekerja untuk masyarakat terpinggirkan khususnya perempuan dan anak.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut laporan yang ditulis oleh YSKK pada situs Change.org, banyak terdapat kasus pungutan liar di Jawa Tengah yang membuat orangtua murid berteriak dan mengeluhkan mahalnya biaya pendidikan. Hal itu misalnya yang terjadi pada wali murid sebuah Madrasan Tsanawiyah Negeri di Karanganyar, Jawa Tengah, yang dimintai iuran biaya Language Education Centre sebesar Rp 20 ribu per anak per bulan untuk siswa kelas 2. Sekolah tersebut memiliki total 8 kelas untuk kelas 2 dan jumlah murid 32 anak per kelas.
Dari hasil kalkulasi keseluruhan, total pungutan yang bisa dikumpulkan sekolah dari biaya pembelajaran bahasa selama setahun mencapai Rp 61 juta (Rp 20 ribu x 32 anak x 8). Sementara, umumnya sekolah menerima dana Bantuan Operasional Sekolah sebesar Rp 710.000 per siswa.
Contoh lainnya, yang disebutkan YSKK dalam petisi tersebut, misalnya seorang orangtua murid di SMP Negeri di Sragen, Jawa Tengah diminta membayar uang seragam sebesar Rp 690 ribu serta membayar 'sumbangan' wajib perbaikan serambi mesjid, perbaikan pendingin ruangan sebesar Rp 1.2 juta yang mesti dilunasi dalam waktu 3 bulan. Belum lagi, uang pengembangan sekolah sebesar Rp 140 ribu per bulan per anak.
Lebih lanjut lagi, menurut hasil kajian akuntabilitas penggunaan dana BOS yang dilakukan oleh Yayasan Satu Karsa Karya (YSKK) bersama dengan Gerakan Masyarakat Peduli Pendidikan Nasional (Gema Pena) pada Mei lalu, banyak ditemukan pembiayaan perawatan bangunan sekolah, kegiatan ekstrakurikuler, dan penambahan jam belajar (les) dibebankan sekolah melalui dana BOS.
"Lalu untuk apa lagi membebankan biaya-biaya gedung dan semacamnya ke orangtua murid?" tulis YSKK.
YSKK juga mencatat kasus di Kalimantan Barat di mana seorang orangtua murid melaporkan bahwa rapot anaknya ditahan pihak sekolah lantaran tidak mampu membayar uang komite sebesar Rp 180 ribu padahal orangtua tersebut sudah memberikan surat keterangan miskin sesuai anjuran kepala sekolah.
Menurut YSKK, hal tersebut bertentangan dengan apa yang diamanatkan oleh Permendikbud Nomor 101 tahun 2013 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan BOS 2014, di mana dalam Permendikbud tersebut BOS diadakan untuk membebaskan pungutan bagi seluruh siswa dalam satuan pendidikan dasar atas biaya operasional sekolah seperti perbaikan gedung atau penambahan fasilitas sekolah.
YSKK kemudian menyoroti apa peran dana BOS yang bertujuan membebaskan pungutan bagi siswa jika masih ada pungutan terhadap orangtua mengenai biaya operasional sekolah.
Melalui petisi tersebut, YSKK kemudian mengajak masyarakat untuk menuntut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia untuk mencabut Permendikbud No 44 tahun 2012 tentang Pungutan dan Sumbangan Biaya Pendidikan Pada Satuan Pendidikan Dasar dan merevisi petunjuk teknis BOS 2014 untuk menegaskan bahwa dokumen BOS merupakan informasi publik yang bisa diakses masyarakat.
Petisi tersebut ditandatangani oleh sebanyak 50 pendukung. Salah satunya adalah Kholid Ansori dari Muarabulian yang mengatakan hampir setiap daerah dan sekolah di Indonesia memiliki persoalan yang sama.
"Apa sertifikasi guru, dana bos, dll msh kurang? ampun deh guru-guru sekarang," tulisnya dalam situs tersebut. Sementara, Misbakhun Nafik menulis komen berupa, "wujudkan pendidikan dasar tanpa pungutan baik langsung maupun dengan dalih apapun."
Sebelumnya, Ombudsman Republik Indonesia (ORI) melaporkan hasil temuan maladministrasi pendidikan pada saat penerimaan siswa baru pada JUni hingga Agustus tahun ini. Dari hasil temuan yang dilakukan di 33 provinsi di Indonesia, ORI menemukan fakta masih tingginya angka pungutan liar dengan pendekatan berbagai modus yang dibebankan pihak sekolah pada orangtua siswa.