Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNNIndonesia.com
Jakarta, CNN Indonesia -- Jaminan Sosial merupakan hak seluruh penduduk dan sekaligus indikator pencapaian visi negara untuk kesejahteraan masyarakat. Deklarasi PBB tahun 1948 dengan tegas menggariskan bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial.
Hak jaminan sosial tersebut kemudian diangkat dalam Konvensi ILO pada 1952 dengan rumusan 9 jenis hak termasuk jaminan kesehatan dan jaminan pensiun seumur hidup. Kedua jaminan tersebut merupakan hak yang paling fundamental dalam negara kesejahteraan. Itulah keadilan sosial bagi seluruh rakyat yang tercantum dalam Pancasila. Jika kedua jaminan utama tersebut tersedia, kebutuhan dasar seluruh penduduk terpenuhi.
Jaminan sosial menjadi penting untuk melindungi masyarakat dari resiko sosial ekonomi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di Indonesia sendiri, istilah jaminan sosial muncul pada 1968 saat pegawai negeri sipil mendapatkan jaminan kesehatan (Askes) dan jaminan pensiun (Taspen). Sementara, pegawai swasta baru mendapatkan j aminan sosial pada 1992 melalui UU Jaminan Sosial dan Ketenagakerjaan (Jamsostek).
Sayangnya, UU Jamsostek jaminan kesehatan bersifat terbatas dan tidak dipaksakan. Alhasil, sampai 2013 hanya sekitar 5 persen pegawai swasta yang memiliki jaminan kesehatan, yang tentunya sangat jauh dari harapan pemerintah. Sementara sampai saat ini, belum ada jaminan pensiun dengan manfaat pasti bagi pegawai swasta, kecuali di sebagian kecil perusahaan BUMN dan perusahaan besar.
Jaminan sosial di Indonesia kembali diperjelas saat Megawati Soekarnoputri menjabat sebagai Presiden RI pada 2004. Saat itu, ia membentuk Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional yang bertujuan merumuskan RUU Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). UU SJSN No. 40/2004 tentang SJSN akhirnya diundangkan oleh Megawati pada 19 Oktober 2004. Sayangnya, semasa pemerintahan era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) program ini seolah ditinggalkan.
Jaminan Kesehatan yang diselenggarakan secara nasional sebagaimana diatur oleh UU SJSN kemudian dinamai Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Dengan JKN, semua penduduk di semua daerah mesti mendapatkan hak jaminan kesehatan yang sama.
Program jaminan kesehatan yang bersifat sosialis ini tentunya jauh berbeda dengan ruh 'liberalisasi' dan kapitalisasi kesehatan semasa Orde Baru. Saat itu, Presiden Soeharto memang berjasa menyediakan fasilitas kesehatan seperti puskesmas, dokter dan rumah sakit melalui Inpres Dokter. Sayangnya, layanan milik pemerintah tersebut tidaklah gratis.
Hal itu memberatkan pasien terutama jika terkena sakit berat yang mewajibkan rakyat harus bayar konsultasi dokter. Alhasil, rakyat mudah jatuh miskin ketika sakit. Itulah sistem yang berlaku sejak dulu hingga sekarang. Sebuah sistem kesehatan yang sangat liberal. Dengan kondisi sistem kesehatan liberal Indonesia, rakyat beresiko besar jika bencana atau musibah sakit menimpanya.
Untuk melindungi seluruh rakyat dalam sistem kesehatan yang sangat liberal itulah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dikembangkan. Tujuan utama dari JKN adalah agar seluruh rakyat dapat hidup sehat produktif sebagai syarat utama untuk bisa belajar, bekerja dan menikmati kemerdekaan dalam kesejahteraan.
Tujuan utama Jaminan Kesehatan Nasional adalah agar seluruh rakyat dapat hidup sehat produktif dalam kesejahteraan. Hasbullah Thabrany |
Di luar JKN, pemerintah dan pemda masih mempunyai kewajiban untuk memelihara lingkungan hidup yang sehat dan mendorong rakyat berperilaku hidup sehat.
Meskipun terlambat 10 tahun dan menyebabkan jutaan nyawa telah terenggut akibat tak adanya jaminan kesehatan, JKN akhirnya telah dijalankan sejak Januari 2009.
Batas biaya berobat dengan demikian menjadi tanggungjawab rumah sakit yang dikontrak BPJS, karena RS dibayar secara borongan per jenis penyakit sampai peserta JKN sembuh.
Dalam praktiknya, masih banyak sekali keluhan karena ternyata pasien peserta JKN masih diminta membayar sebagian atau diberi resep untuk dibeli sendiri. Penyimpangan tersebut terjadi karena besaran bayaran BPJS belum sesuai dengan amanat UU SJSN.
Pada dasarnya BPJS dibentuk dengan mengubah PT Askes (Persero) yang bertujuan mencari laba. Tujuan utamanya adalah untuk melindungi seluruh rakyat dari kebangkrutan ekonomi keluarga jika terjadi bencana sakit.
Oleh karena itu, BPJS dan JKN semestinya tidak boleh mempersulit, membatasi atau menunda-nunda pendaftaran atau pembayaran.
Meskipun niatnya bagus, program JKN bukan tanpa masalah. Rendahnya iuran menyebabkan pembayaran tenaga kesehatan dan fasilitas tidak memadai. Rendahnya kemauan pemerintah membayar iuran yang memadai dan banyaknya masalah besaran menunjukkan rendahnya komitmen politik pemerintah dalam menerapkan JKN yang bermutu tinggi.
Tak hanya itu, kebijakan pejabat pemerintah daerah yang kaku menyebabkan sampai tengah tahun 2014 banyak yang belum mencairkan dana JKN. Akibatnya, dokter dan tenaga kesehatan lainnya tidak punya insentif untuk bekerja baik melayani pasien.
Praktik-praktik yang belum sesuai konsep dasar JKN membuat program ini belum menjadi kebanggaan masyarakat. Bahkan, oleh banyak pihak JKN masih dinilai sebagai produk bermutu rendah. Banyak pengusaha dan pegawai kelas menengah, yang bisa mensubsidi silang kepada penerima bantuan JKN, meragukan mutu layanan JKN.
Di tengah sengkarut persoalan layanan kesehatan tersebut, Presiden Joko Widodo meluncurkan program Kartu Indonesia Sehat (KIS). Kartu ini menjadi 'merek dagang' politik Jokowi JK. Namun, banyak pihak mengkritik produk ini telah melanggar Undang-Undang karena diterbitkan tanpa melalui JKN.
Untuk mengintegrasikan BPJS dan KIS sangat sederhana. Presiden Jokowi cukup mengganti kartu BPJS Kesehatan dengan KIS dalam rangka JKN. Presiden kemudian dapat menerbitkan Peraturan Presiden yang mengatur ciri-ciri KIS dan mekanisme KIS untuk seluruh penduduk.
Meski produk jaminan kesehatan di Indonesia telah melalui perjalanan panjang dengan perubahan yang beraneka macam periode demi periode pemerintahan, kita berharap pemerintah bisa terus konsisten untuk menghasilkan jaminan kesehatan yang terjangkau dan secara cuma-cuma demi kesejahteraan masyarakatnya.
*) Penulis: Hasbullah Thabrany adalah Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia.