Jakarta, CNN Indonesia -- Pemahaman aparat penegak hukum mengenai undang-undang perdagangan manusia yang minim membuat kasus-kasus perdagangan manusia (
human trafficking) di Indonesia masih muncul.
International Organization for Migration, IOM, menyebut kondisi tersebut yang menyebabkan oknum pedagang manusia di Indonesia lebih sering mendapat hukuman yang ringan.
“Tidak semua penegak hukum mengerti akan undang-undang mengenai perdagangan manusia. Tidak rata pengetahuannya," ujar perwakilan IOM untuk Indonesia Nurul Qoiriah di Jakarta, Jumat (7/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia mengatakan penyebabnya adalah mutasi di tubuh Polri yang sering terjadi
Nurul juga mengatakan IOM dan beberapa lembaga lain sudah sering melakukan pelatihan kepada anggota kepolisian, baik itu Mabes Polri ataupun Polda-Polda.
“Kami sering melakukan itu, tapi saat pelatihan sudah selesai mereka dimutasi dan berganti dengan pejabat baru yang kosong pengetahuannya,” katanya. Tidak hanya itu, dia juga menyayangkan beberapa kasus perdagangan manusia yang diusut di Indonesia menggunakan Undang-undang yang tidak sesuai.
“Padahal kasusnya sudah jelas ada tiga elemen perdagangannya, ada mobilisasinya, ada caranya, ada eksploitasinya tapi malah digugat dengan Undang-Undang TKI atau Undang-Undang Kekerasan dalam Rumah Tangga bahkan Undang-Undang Perlindungan Anak," kata Nurul.
Pengetahuan tentang UU Perdagangan Manusia di kalangan penegak hukum sangat penting karena berisi unsur yang dapat memberikan restitusi pada korban.
"Kalau dia tidak digaji atau menderita sakit itu haru diberikan kompensasi," ujar Nurul merujuk pada resitusi sebagai hak korban untuk mendapatkan kompensasi dari pelaku.
Bahkan, menurut Nurul, polisi di Indonesia seakan enggan mengenakan hukuman berat bagi pelaku perdagangan manusia.
“Saya tidak tahu alasan pasti kenapa mereka enggan, padahal ancaman hukuman di UU Perdagangan Manusia minimal tiga tahun dan maksimal kurungan seumur hidup,” lanjut Nurul.
Alasan lain yang menjadi temuan IOM adalah terbenturnya anggaran setiap kali Polri diminta melakukan investigasi.
“Padahal beberapa penyidik yang mengerti UU tersebut pasti kooperatif bila kita meminta bantuan, tapi akhirnya terbentur anggaran," ujar Nurul.