HUKUM DI INDONESIA

Vonis Mati Dinilai Menjadi Alat Politik

CNN Indonesia
Senin, 10 Nov 2014 15:47 WIB
Indonesia dinilai masih gamang menentukan vonis hukuman mati. Bukan hanya itu, vonis mati bahkan sering digunakan untuk kepentingan politik.
Ilustrasi. Indonesia dinilai masih gamang menentukan vonis hukuman mati. Bukan hanya itu, vonis mati bahkan digunakan untuk kepentingan politik. (GettyImages)
Jakarta, CNN Indonesia -- Penerapan vonis mati oleh majelis hakim di Indonesia atas sejumlah tindak pidana dinilai sarat kepentingan politik. Perwakilan Indonesia untuk Komisi Hak Asasi Manusia ASEAN Rafendi Djamin menilai, modus tersebut mencuat lantaran ingin menunjukkan sikap tegas dari aparat penegak hukum.

"Jangan sampai digunakan sebagai alat politik untuk menunjukkan seolah-olah ada penegakan hukum. Tambah berbahaya karena untuk pembenaran aparat penegak hukum kepada pemerintahan bahwa mereka tegas," ujar Rafendi ketika ditemui usai membuka Forum The 3rd Jakarta Human Rights Dialogue (JHRD) on Rights to Life and Moratorium of Death Penalty in the ASEAN Region, di Jakarta, Senin (10/11).

Rafendi menjelaskan, modus tersebut kentara saat Indonesia menjatuhkan hukuman mati kepada lima orang tersangka pada tahun 2013. Salah satu tersangka yakni Lindsay Sandiford (56 tahun) yang divonis mati lantaran menyelundupkan 5 kilogram kokain dari Eropa ke Bali.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Pemerintahan SBY (mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono) setengah-setengah (dalam menyikapi hukuman mati), di awal tegas menolak hukuman mati. Tapi di akhir tahun 2013, ada hukuman mati untuk lima orang. Padahal empat tahun tidak melakukan hukuman itu," ujar Rafendi.
Sejak 2008 hingga 2013, Indonesia menjadi salah satu dari 100 lebih negara yang menandatangani moratorium hukuman mati. Namun, dia menyayangkan muncul kembali vonis mati di penghujung tahun.

Dia berpendapat, hal itu dapat menjatuhkan posisi tawar Indonesia kepada negara lain. "Kita menuntut buruh migran Indonesia untuk tidak dihukum mati dalam proses pembelaan dan di pengadilan, tapi kita sendiri enggak berbuat apa-apa untuk itu," ujarnya.

Rafendi menyarankan, alih-alih menghukum mati, solusi terbaik untuk memvonis terdakwa adalah dengan menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup dengan pengawasan yang ketat. "Bukan membiarkan masih bisa jalan-jalan, pakai fasilitas AC, dan bisa karaoke. Betul-betul hukuman yang membuat terhukum merasakan (jera)," katanya.

Sementara itu, mencuatnya fenomena tersebut juga ditemukan di sejumlah negara. Perwakilan Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk HAM Stavros Lambrinidis menilai fenomena tersebut terlepas dari isu kultur yang seringkali menjadi dalih. "Tren menunjukkan bahwa isu hukuman mati bukanlah isu kultur, melainkan gengsi," kata Lambrinidis.

Padahal, menurut Lambrinidis, tidak ada penelitian yang menunjukkan ada korelasi antara hukuman mati dengan penurunan angka kriminal di sejumlah negara yang menerapkan hukuman tersebut. Selain itu, vonis mati juga bertentangan dengan artikel 6 Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi Indonesia. Dalam artikel tersebut, pemerintah menjamin perlindungan hak atas hidup.

Merujuk data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), hingga 10 Oktober 2014, lebih dari 130 terpidana mati di Indonesia menunggu eksekusi selama 10 tahun. Sebanyak 60 orang di antaranya terjerat kasus narkoba, 68 lainnya untuk kasus pembunuhan, dan 2 orang divonis karena kasus terorisme.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER