Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintah Indonesia dinilai masih gamang menentukan sikap dalam penerapan hukuman mati bagi terdakwa kasus kejahatan pidana.
Merujuk data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), sejak 2004 hingga 2008 sedikitnya 19 orang telah divonis mati. Mayoritas dari mereka terkait kasus narkoba. Sepanjang tahun 2008 hingga 2013, Indonesia menerapkan moratorium hukuman mati.
Namun pada tahun 2013, publik justru dikejutkan oleh pemerintah Indonesia yang kembali menerapkan hukuman tersebut kepada lima orang tersangka. Salah satunya, warga negara Inggris Lindsay Sandiford. Wanita berusia 56 tahun tersebut divonis hukuman mati lantaran menyelundupkan 5 kilogram kokain dari eropa ke Bali.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Perwakilan Indonesia pada Komisi ASEAN untuk Hak Asasi Manusia Rafendi Djamin, kegamangan tersebut masih muncul dengan beragam dalih, di antaranya efek jera untuk para tersangka.
"Kita punya kelompok masyarakat yang masih begitu percaya bahwa hukuman mati akan menimbulkan efek jera, terutama teman-teman dari kelompok narkoba yang membuat gerakan," kata Rafendi ketika ditemui usai membuka Forum The 3rd Jakarta Human Righys Dialogue (JHRD) on Rights to Life and Moratorium of Death Penalty in the ASEAN Region, di Jakarta, Senin (10/11).
Menurut Rafendi, gerakan dari kelompok narkoba tersebut justru malah didukung oleh pemerintah dan aparat kepolisian. "Itu yang menjadi sebab posisi kita ke luar (internasional) menjadi gamang. Seharusnya ada proses di dalam Indonesia sendiri yang harus diselesaikan," ujar Rafendi.
Padahal, Rafendi berpendapat, selama ini dalih efek jera tidak terbukti lantaran tidak ada kajian yang mendukung. "Hukuman mati dengan alasan efek jera tidak membuktikan apa-apa (terhadap angka kriminalitas)," katanya.
Hal senada disampaikan Perwakilan Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk HAM Stavros Lambrinidis. "Tidak ada penelitian yang menunjukkan hukuman mati dapat mengurangi angka kriminal," ujar Lambrinidis dalam pidato pada acara tersebut.
Hukuman Mati Lebih MurahAlasan lain yang menjadi modus penerapan hukuman mati adalah anggapan bahwa penyelesaian perkara melalui hukuman mati berbiaya murah. Isu tersebut muncul di sejumlah negara yang mengimplementasi hukuman tersebut.
"Murah karena tidak perlu mengeluarkan biaya untuk hidup dan untuk makan di penjara. Juga mengurangi terjadi radikalisasi antar tahanan," kata Lambrinidis. Padahal, menurutnya dalih tersebut tidak dapat diterima dengan memasung hak hidup seseorang.
Mengamini Lambrinidis, Rafendi berpendapat serupa. "Kalau kita menerapkan hukuman mati dengan berbagai prosedur untuk mengawal perlindungan HAM dalam proses eksekusi, malah menjadi mahal. Argumen dipatahkan dengan kajian bukan mitos," kata Rafendi tegas.
Dengan demikian, keduanya sepakat bahwa modus efek jera dan penyelesaian perkara yang murah tidak dapat menjamin penurunan angka kriminal. Di samping itu, vonis tersebut bertentangan dengan sejumlah peraturan yang dikeluarkan Persatuan Bangsa-Bangsa seperti perlindungan hak atas hidup yang terdapat pada artikel 6 Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik.