Jakarta, CNN Indonesia -- Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menghukum bekas Kepala Badan Pengawasan Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Syahrul Raja Sempurnajaya, delapan tahun penjara. Putusan ini dibacakan di muka sidang yang digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu (12/11).
"Menjatuhkan pidana delapan tahun penjara dan denda Rp 800 juta subsidair enam bulan kurungan," kata hakim ketua persidangan Sinung Hermawan. Syahrul dianggap tak mendukung upaya negara memberantas korupsi.
Vonis majelis ternyata lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebelumnya yakni 10 tahun dan denda Rp 1 miliar subsider delapan bulan kurungan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menanggapi vonis hakim, Syahrul tak mau berkomentar. Alih-alih berkomentar, ia justru dengan nada tinggi membentak awak juru foto yang terus mengambil gambarnya. "Udah, puas? Udah dong fotonya," ujar Syahrul usai sidang.
Sementara itu, kuasa hukumnya Eko Prananto mengatakan vonis tersebut terlalu tinggi. Menurutnya, tindak pidana pencucian uang tidak terbukti. "Seharusnya hukumannya tidak begitu tinggi. Dakwaan keempat tidak terbukti, barang buktinya apa juga tidak tahu," kata Eko usai sidang.
Dalam merumuskan putusan, dua dari lima hakim beda pendapat soal penuntutan cuci uang. Keduanya adalah Joko Subagyo dan I Made Hendra. Meski demikian, hakim ketua Sinung memutuskan pencucian uang terbukti.
Syahrul dinilai terbukti memaksa Ketua Asosiasi Pialang Berjangka Indonesia (APBI) l Gede Raka Tantra dan Ketua Ikatan Perusahaan Pedagang Berjangka Indonesia (IP2BI) Fredericus Wisnubroto untuk menyisihkan fee transaksi dari keseluruhan transaksi di PT Bursa Berjangka Jakarta (PT BBJ) dan PT Kliring Berjangka Indonesia (PT KBI) untuk kepentingan operasional.
Untuk memenuhi permintaan Syahrul, I Gede dan Fredericus menandatangani perjanjian pembagian fee transaksi sistem perdagangan alternatif sebesar dua persen. Total uang bantuan operasional yakni sebesar Rp 1,675 miliar.
Selain itu dalam berkas vonis yang dibacakan dalam persidangan, Syahrul juga terbukti menerima suap sebesar Rp 1,5 miliar lantaran membantu melakukan mediasi antara Maruli T Simanjuntak dengan CV Gold Asset ketika keduanya bersengketa ihwal investasi emas senilai Rp 14 miliar.
Majelis hakim juga memvonis Syahrul terbukti menerima suap sebesar Rp 7 miliar dari Komisaris Utama PT BBJ Hasan Wijaya dan Direktur Utama PT BBJ Bihar Sakti Wibowo pada tanggal 2 Agustus 2012. Suap dimaksudkan untuk memproses permohonan izin usaha lembaga kliring berjangka PT Indokliring.
Sementara itu, tuntutan lainnya yang tidak terbukti adalah Syahrul memerintahkan Kepala Biro Hukum Bappebti saat itu, Alfons Samosir, untuk meminta Direktur PT Millenium Penata Futureems (PT MPF) Runy Syamora menyerahkan uang sebesar 5 ribu dollar Australia. Uang tersebut sedianya digunakan sebagai tambahan uang saku untuk melakukan perjalanan dinas ke Australia. Meski demikian, Syahrul tidak jadi berangkat dan Alfons Samosir yang menggantikannya. Dengan demikian, uang tersebut digunakan Alfons.
Syahrul bersama dengan Direktur Utama PT Garindo Perkasa Sentot Susilo dan Direktur Operasional PT Garindo Perkasa, memberikan uang Rp 3 miliar kepada sejumlah pejabat diantaranya Kasubag Penataan Wilayah Bagian Administrasi Pemerinthaan Kabupaten Bogor, Kepala Dinas Kebesohan dan Pertamanan Kabupaten Bogor Rosadi Saparodin, dan Kepala Urusan Humas dan Agraria KPH Bogor Saptari. Duit tersebut digunakan untuk memuluskan penerbitan perizinan lokasi Tempat Pemakaman Bukan Umum (TPBU) di Desa Antajaya, Tanjungsari, Kabupaten Bogor, atas nama PT Garindo Parkasa.
Majelis juga memutus Syahrul terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang. Syahrul melakukan pencucian uang dari harta kekayaan hasil korupsi dengan menempatkan uang sebesar Rp 974 juta dan USD 184 ribu di beberapa rekening istri keduanya, Herlina Triana Diehl.
Duit hasil korupsi juga digunakan untuk membeli sebuah mobil Toyota Vellfire senilai Rp 790 juta, membayar cicilan apartemen di Senopati Office senilai Rp 1,73 miliar, membeli sebuah mobik Toyota Hilux sebesar Rp 327 juta, membeli polis asuransi senilai Rp 12 juta dan investasi senilai Rp 188 juta. Syahrul juga mencuci uangnya senilai Rp 873 juta dan USD 157 ribu melalui beragam bentuk lainnya.
Atas tindak pidana yang dilakukan, Syahrul dijerat pasal 2, 5 ayat 1, dan pasal 12 huruf a UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 juncto pasal 55 ayat 1 KUHPidana. Selain itu, Syahrul juga terbukti melanggar pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang tindak pidana pencucian uang juncto pasal 65 ayat 1 KUHPidana.