Jakarta, CNN Indonesia -- Dua dari lima hakim berbeda pendapat soal penuntutan pencucian dalam kasus korupsi bekas Kepala Badan Pengawasan Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) Syahrul Raja Sempurnajaya. Kedua hakim tersebut adalah Joko Subagyo dan I Made Hendra.
Keduanya tidak sepakat apabila jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi juga menuntut tindak pidana pencucian. Menurut Joko Subagyo, jaksa KPK tidak memiliki kewenangan tersebut. "Penuntutan tindak pidana pencucian uang harus diserahkan ke Kejaksaan Negeri. Dengan demikian, tuntutan harus dianggap tidak diterima," kata hakim Joko Subagyo dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Rabu (12/11).
Dalam penanganan kasus ini, jaksa KPK menuntut Syahrul dengan tindak pidana pencucian uang. Syahrul dinilai melakukan pencucian uang dari harta kekayaan hasil korupsi dengan menempatkan uang sebesar Rp 974 juta dan US$ 184 ribu di sejumlah rekening istri keduanya, Herlina Triana Diehl.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Duit hasil korupsi juga digunakan untuk membeli sebuah mobil Toyota Vellfire senialai Rp 790 juta, membayar cicilan apartemen di Senopati Office senilai Rp 1,73 miliar, membeli sebuah mobik Toyota Hilux sebesar Rp 327 juta, membeli polis asuransi senilai Rp 12 juta dan investasi senilai Rp 188 juta.
Syahrul juga mencuci uang senilai Rp 873 juta dan US$ 157 ribu melalui beragam bentuk lainnya. Syahrul dikenai Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pidana Pencucian Uang juncto Pasal 65 ayat 1 KUHPidana.
Meski demikian, hakim Joko beranggapan bahwa KPK tidak berwenang menuntut cuci uang karena tidak berdasar hukum. "Kewenangan tidak didasarkan pada anggapan tapi ditentukan secara eksplisit pada hukum acara pidana. Pasal 75 UU Tipikor hanya menggabungkan penyidikan tindak pidana korupsi dan pencucian uang, bukan penuntutan," kata Joko.
Menanggapi pendapat tersebut, jaksa KPK Ely Kusumastuti mengatakan, penuntutan tindak pidana pencucian sudah lumrah dilakukan dan telah yurisprudensi. "Penuntut umum KPK mempunyai kewenangan menuntut tindak pidana pencucian uang, sudah banyak yurisprudensi yang sudah memutuskan bahwa KPK memiliki kewenangan penuntutan," ujarnya ketika ditemui usai sidang.
Ketiga hakim lainnya yakni Hakim Ketua Sinung Hermawan, Hakim Anggota Ibnu Widodo, dan Hakim Anggota Sutiyo Jumadi berpendapat, jaksa KPK berhak menuntut tindak pidana pencucian uang secara bersamaan dengan tindak pidana asal (predicate crime). Dengan demikian, jaksa berhak menuntut Syahrul dengan pasal berlapis.
Polemik Penuntutan Cuci UangPolemik soal penuntutan pencucian uang terus terjadi dalam beberapa perkara korupsi. Menariknya, dalam setiap penangan perkara, hakim ad hoc tipikor yang kerap bersuara lantang beda pendapat soal penuntutan tersebut.
Sebelumnya, dalam penanganan kasus korupsi proyek Hambalang dengan terpidana Anas Urbaningrum misalnya. Dalam penanganan kasus Anas, dua hakim yang berbeda pendapat adalah hakim anggota Slamet Subagyo dan Joko Subagyo.
Menurut mereka, dalam Pasal 76 ayat 1 UU Tindak Pidana Pencucian Uang, tidak disebutkan secara detil bahwa jaksa KPK memiliki wewenang menuntut pencucian uang. Meski demikian, lantaran kalah suara, hakim ketua Haswandi pada saat itu memutuskan Anas terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang.
Dalam kasus lain, polemik serupa juga terjadi. Misalnya, dalam penanganan kasus korupsi simulator Surat Izin Mengemudi (SIM) dengan terpidana bekas Kepala Korps Lalu Lintas Inspektur Jenderal Djoko Susilo. Majelis hakim yang menangani kasus tersebut tidak bersuara bulat. Meski demikian, majelis akhirnya tetap menjatuhkan vonis pencucian uang pada Djoko. Bahkan kasus tersebut telah berkekuatan hukum tetap.
Kasus yang sama juga terjadi pada penanganan kasus perkara suap sengketa pilkada dengan terpidana mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar serta kasus impor daging sapi dengan terpidana Ahmad Fathanah dan Luthfi Hasan. Meski terdapat beda pendapat, majelis hakim tetap menjerat ketiganya dengan pasal pencucian uang.