Jakarta, CNN Indonesia -- Pengamat dan pakar hukum tata negara Universitas Parahyangan Asep Warlan melihat tindakan DPRD DKI Jakarta yang meminta dan menungunggu fatwa Mahkamah Agung terkait pelantikan Basuki Tjahja Purnama alis Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta, sebagai tindakan yang tidak perlu.
"Fatwa itu diberikan ketika ada norma yang berimplikasi pada akan mengganggu hukum yang lain, ini (pelantikan) kan tidak ada norma konstitusi yang ditabrak," kata Asep kepada CNN Indonesia, Kamis (13/11).
Lebih jauh dalam UU 32 tahun 2004 tetang Pemilihan kepala Daerah yang dipakai acuan dalam pelantikan Jokowi-Ahok 2012 lalu, maka otomatis wakil gubernur akan menggantikan gubernur yang berhalangan tetap. Untuk wakil, pengganti Gubernur akan mengajukan dua nama kepada DPRD untuk memilih satu diantarnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Ini jelas dan terang di undang-undang menurut panafsiran saya. Ahok otomatis jadi Gubernur," ujar Asep.
Mengenai dorongan mundur, hal itu secara politik sah-sah saja, namun tidak secara aturan konstitusi. Pelantikan Ahok dengan dasar UU 32 tahun 2004 kemudian harus diselesaikan dengan UU yang serupa. "Jelas dan terang harus diselesaikan pake UU yang sama, kecuali ada perppu baru yang mengatur itu," katanya.
Sementara itu, nada lain muncul dari para penentang Ahok. Ketua Umum FPI, Muchsin Alatas berencana akan terus berupaya semaksimal mungkin menggagalkan Ahok menjadi orang nomor satu di Ibu Kota Jakarta. Ia kecewa dengan sikap pemerintah yang tak mau menampung dan mendengar aspirasi FPI. "Kami pikir pemerintah itu gak ngerti apa yang kami suarakan, pokoknya buat kami pelantikan Ahok harus batal," katanya.