PELANTIKAN AHOK

Dari Kapitan China Batavia ke Ahok

CNN Indonesia
Rabu, 19 Nov 2014 14:49 WIB
Pelantikan Basuki Tjahaja Purnama sebagai Gubernur DKI Jakarta mengingatkan kembali ke peristiwa 50 tahun silam, ketika Soekarno melantik Henk Ngantung.
Massa Kebangkitan Indonesia Baru (KIB) mengenakan topeng bergambar Basuki Tjahja Purnama (Ahok) melakukan aksi damai di depan Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (12/11). KIB mendukung Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta periode 2014-2017 menggantikan Joko Widodo yang saat ini menjadi Presiden RI. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pelantikan Basuki Tjahaja Purnama 'Ahok' sebagai Gubernur DKI Jakarta mengingatkan kembali ke peristiwa 50 tahun silam di mana Presiden Soekarno akan melantik Hendrik Hermanus Joel Ngantung. Hal tersebut disampaikan oleh sejarawan JJ Rizal ketika dihubungi oleh CNN Indonesia, Rabu (19/11).

Hendrik atau akrab dipanggil Henk Ngantung merupakan seorang lelaki nonmuslim kelahiran Manado. Pada 1964, Soekarno mendapatkan banyak tentangan dari masyarakat serta politisi soal pelantikan Henk. Henk dinilai tidak layak mewakili masyarakat Jakarta karena berasal dari kelompok minoritas: nonmuslim dan pelukis.

Namun Soekarno saat itu paham betul tentang apa yang ia lakukan. Soekarno punya visi jauh ke depan. Dia membantah semua suara sumbang di sekelilingnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kita ini mesti belajar mengenal Indonesia. Indonesia itu kebhinnekaan. Wajah dari keragaman," kata Rizal mengutip pernyataan Soekarno.

Henk dinilai Soekarno bisa merepresentasikan semua itu. Dia diharapkan bisa memberikan warna kebudayaan yang kuat bagi bangsa Indonesia yang sedang belajar menjadi pluralis dan nasionalis.

Kini, Ahok sendiri merupakan Gubernur DKI Jakarta pertama yang berasal dari etnis Tionghoa. Seperti Henk, dia juga nonmuslim.

Hilmar Farid, sejarawan senior dari Universitas Indonesia serta Ketua Perkumpulan Praxis, mengatakan majunya Ahok dari kalangan nonmayoritas sebagai Gubernur DKI Jakarta merupakan sebuah pernyataan simbolis.

"Masyarakat Jakarta dilatih untuk menerima kenyataan bahwa kita ini berbeda-beda," kata aktivis yang akrab dipanggil Fay tersebut.

'Si Koboi Jakarta'

Ahok, yang sering menyebut dirinya 'Si Koboi Jakarta' mengawali karier politiknya di daerah asalnya, Belitung Timur. Pria kelahiran 29 Juni 1966 itu memulainya dengan bergabung di bawah bendera Partai Perhimpunan Indonesia Baru sebagai Ketua Dewan Pimpinan Cabang PIB Belitung Timur pada 2004.

Pada 2009 Ahok terpilih sebagai anggota DPR RI. Namun, belum selesai masa jabatan di Senayan, Ahok kembali mengundurkan diri. Dia dipinang Gerindra menjadi calon Wakil Gubernur DKI Jakarta berpasangan dengan Joko Widodo.

Pada 2014, Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta menggantikan Joko Widodo yang terpilih sebagai Presiden RI. Namun perjalanan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta mendapat banyak tentangan. Salah satu protes keras muncul dari organisasi masyarakat Front Pembela Islam yang menolak pencalonan Ahok sebagai gubernur.

"Ahok itu sumber masalah, enggak cocok jadi gubernur tapi cocoknya jadi musuh masyarakat," kata Ketua Umum FPI Muchsin Alatas.

Tak hanya itu, FPI juga menyoal masalah etnis dan agama Ahok, yakni Kristen Protestan dan Tionghoa, yang dinilai mereka tak pantas untuk memimpin kota Jakarta di mana mayoritas penduduknya memeluk agama Islam.

Peran Tionghoa

Rizal mengatakan kritik FPI tersebut sangat lemah logika dan pemahaman akan sejarah. Dia menceritakan betapa etnis Tionghoa memiliki sumbangsih besar atas proses membentuk Indonesia serta membangun kota Jakarta.

Penduduk etnis Tionghoa menginjak Nusantara sekitar abad ke-14 dan berhubungan dengan kerajaan-kerajaan kuno di Nusantara.

Masyarakat Tionghoa, karena ahli bidang ekonomi terutama perdagangan, membuat mereka dekat dengan pejabat VOC. Mereka diberikan keistimewaan oleh pemerintah Belanda dengan posisi seperti Kapitan.

Kapitan merupakan jabatan seseorang untuk masyarakat Tionghoaguna mengatur komunitasnya dalam urusan perdagangan, memungut pajak, izin usaha, izin tinggal, hingga urusan surat lahir dan surat kawin. Kapitan diangkat oleh VOC dan berlanjut turun-temurun hingga pemerintahan Hindia Belanda.

Kedekatan VOC dengan masyarakat etnis Tionghoa, serta perbedaan perlakuan dengan penduduk pribumi, sempat menimbulkan kecemburuan sosial kala itu.

Namun tak bisa dipungkiri pembangunan Indonesia banyak melibatkan masyarakat etnis Tionghoa.

"Dalam sejarahnya, pendirian Indonesia banyak melibatkan tokoh Tionghoa," kata Rizal.

Tak hanya itu, konsep nasionalisme Indonesia juga banyak disumbangkan oleh orang-orang Tionghoa seperti Siauw Giok Tjhan dan Ong Eng Die. Siauw Giok Tjhan pernah menjabat sebagai Menteri Negara dalam kabinet Amir Syarifoedin. Sementara Ong Eng Die menjadi Wakil Menteri Keuangan.

Rizal juga mengatakan surat kabar nasionalis pertama di Indonesia merupakan surat kabar Tionghoa berbahasa Melayu, yakni koran Sin Po. Koran yang pertama kali diterbitkan di Jakarta pada 1910 itu memuat teks lagu kebangsaan Indonesia, Indonesia Raya, dan turut mempelopori penggunaan nama Indonesia untuk menggantikan Hindia Belanda.

Pembangunan kota Jakarta (dahulu Batavia) pun lekat dengan partisipasi masyarakat Tionghoa. Rizal mencontohkan banyaknya gedung tua di Jakarta seperti Museum Sejarah Jakarta yang menjadi warisan Indonesia, dimiliki oleh orang Tionghoa.

Selain gedung, Rizal menjelaskan warisan orang Tionghoa lain bagi pembangunan kota Jakarta seperti sodetan Ciliwung di daerah Pasar Tanah Abang menuju Kali Krukut dan Jalan Harmoni. Sodetan ini dinilai efektif mengurangi dampak banjir bagi masyarakat Jakarta.

Tantangan Ahok

Dengan gaya pembawaan Ahok yang cenderung lugas dan saklek pada peraturan, banyak protes dilayangkan kepadanya. Salah satunya ketika Ahok menerbitkan Instruksi Gubernur mengenai Pengendalian Pemotongan Hewan Kurban di Sekolah Dasar yang mendapatkan banyak tentangan dari ormas Islam.

Hilmar melihat gaya komunikasi Ahok tersebut merupakan tantangan Ahok untuk lebih memposisikan dirinya sebagai wakil masyarakat. "Ahok itu orangnya bagus, tipikal yang sangat taat peraturan. Sayangnya, dia kurang bisa mengkomunikasikan dan merangkul masyarakat dengan lebih baik," kata dia.

Hilmar menilai ke depannya Ahok mesti meningkatkan dan menyesuaikan gaya komunikasi politiknya, mengingat kota Jakarta terdiri dari beragam elemen masyarakat. "Bukan hanya menegakkan aturan yang penting, tetapi melakukan pendekatan kepada lebih banyak orang agar dapat berbagi ide dan mendapat lebih banyak dukungan," kata dia.

Sementara itu, Rizal berpendapat pelantikan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta justru sebuah tantangan besar bagi Ahok. "Kalau sampai gagal mengurusi Jakarta, dia bisa menjadi preseden buruk bagi kelompok Tionghoa lainnya yang mau jadi pemimpin," kata Rizal. "Ahok mesti berhenti jadi 'Si Koboi Jakarta' dan menjadi medium partisipatif publik," ujar dia.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER