Jakarta, CNN Indonesia -- Hakim Agung Krisna Harahap mendukung vonis hukuman mati yang dilakukan pada koruptor. Dia menjelaskan, vonis tersebut dapat dijatuhkan dalam kondisi tertentu.
"Saya tidak pernah menghukum mati dalam menangani kasus korupsi. Tapi kalu misal nanti ada yang sangat-sangat luar biasa, dan memang momentumnya katakanlah; pada saat dia korupsi, bangsa sedang dilanda bencana alam yang luar biasa, seperti tsunami, kenapa tidak?" ujar Krisna ketika ditemui di kantornya, Gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Rabu (19/11).
Merujuk pada pasal 2 ayat 2 UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, pidana mati dapat dijatuhkan jika diketahui tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, serta pengulangan tindak pidana korupsi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tapi tergantung dari hakim, bagaimana dia punya filosofi soal itu (hukuman mati). Konstitusi kita agak rapat soal itu. Akhirnya tergantung dari majelisnya, mau atau tidak, berani atau tidak, punya pendapat yang bulat atau tidak untuk memvonis mati," kata profesor hukum pidana tersebut.
Lebih jauh, dia menjelaskan, dalam undang-undang lainnya Indonesia membolehkan vonis hukuman mati pada kasus lain, seperti narkotika dan terorisme, "Itu di dalam undang-undang organiknya, justru peluang itu (hukuman mati) diberikan. Misalnya UU Tipikor, UU Narkotika, UU Terorisme," katanya.
Pada pasal 80 UU Narkotika, seseorang dapat dipidana mati apabila memproduksi, mengolah, mengekstraksi, mengkonversi, merakit, atau menyediakan narkotika yang hanya diproduksi untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Sementara dalam pasal 6 UU Terorisme, setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal dapat dipidana dengan pidana mati.
Wacana hukuman mati kembali memanas setelah Mahkamah Agung memvonis mati pembunuh Sisca Yofie, Wawan, pada pekan lalu. Wawan dijerat Pasal 365 ayat 4 KUHP tentang perampokan yang mengakibatkan kematian.
Merujuk data Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), sejak 2004 hingga 2008 sedikitnya sebanyak 19 orang telah divonis mati. Mayoritas dari mereka adalah tersangka narkoba. Kemudian, selama empat tahun sejak 2008 hingga 2013, Indonesia sempat menerapkan moratorium hukuman mati. Namun, pada tahun 2013, publik justru dikejutkan oleh pemerintah Indonesia yang kembali menerapkan hukuman tersebut kepada lima orang tersangka. Salah satunya, warga negara Inggris, Lindsay Sandiford. Wanita berusia 56 tahun yang divonis hukuman mati lantaran menyelundupkan lima kilogram kokain dari Eropa ke Bali.