Jakarta, CNN Indonesia -- Fakta bahwa Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa ternyata tidak lantas menjamin perlindungan anak di tanah air. Dalam bidang pendidikan, kesehatan, maupun hukum, anak-anak seringkali masih termarjinalkan.
Pegiat hak anak dari Yayasan Gagah Nurani Indonesia Bagus Wicaksono menceritakan, di Bogor masih ada praktik diskriminasi pendidikan terhadap anak perempuan. "Masih ada anggapan di masyarakat, anak perempuan hanya perlu menikah saja," ujar Bagus di Jakarta, Kamis (20/11).
Program pendidikan gratis yang kerap digaungkan pemerintah dalam praktiknya ternyata juga tidak berjalan baik. Bagus mengatakan, banyak siswa-siswi yang terpaksa putus sekolah lantaran masih harus membayar biaya seragam dan buku-buku yang ditentukan sekolah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam bidang kesehatan, Bagus juga menemukan sejumlah kasus yang menunjukkan hak-hak anak belum dilindungi. "Salah satu dampingan kami, dia kecelakaan. Kakinya terjepit di rel kereta api dan dibawa ke rumah sakit di Medan. Tidak ada yang terima karena harus bayar Rp 10 juta. Karena terlambat ditangani, kakinya harus diamputasi," ujar Bagus.
Bagus menjelaskan, sistem jaminan kesehatan yang ada seringkali lebih menekankan kepada jaminan kesehatan keluarga dan mengesampingkan anak yatim piatu.
"Kami ingin mendorong masyarakat supaya tidak terlena dengan nama program pemerintah dan juga mendorong pemerintah mengevaluasi kembali tata pelaksanaan perundang-undangan dan sistem program yang sudah ada," katanya.
Di bidang hukum, kasus diskriminasi juga terdengar. Lana Teresa Siahaan, dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, menceritakan kasus seorang anak berinisial MR.
Walau MR berusia 16 tahun, dalam proses penyidikan MR dianggap berusia 19 tahun. MR kemudian ditahan selama 16 hari di Kepolisian Sektor Gambir, Jakarta Pusat. Padahal UU Sistem Peradilan Pidana Anak melarang penahanan MR karena ancaman penjara tindak pidana yang disangkakan kepadanya di bawah tujuh tahun.
"Masyarakat masih mengedepankan proses ganti rugi, jadi ketika seseorang diduga melakukan suatu tindak kekerasan, titik beratnya ada pada seberapa besar orang tua atau pelaku bisa ganti rugi. Tidak ada pemulihan hubungan atau keadilan restoratif," ujar Lana dalam kesempatan yang sama.
Berkaca dari sejumlah fakta tersebut, pekerjaan rumah pemerintahan Presiden Joko Widodo yang baru terkait perlindungan anak masih menumpuk. Perayaan Hari Anak Internasional ke-25 yang jatuh pada hari ini harus menjadi pemacu pemerintah agar dapat menjamin hak anak dengan lebih baik lagi.