Jakarta, CNN Indonesia -- Jeleknya bentuk layanan publik di Indonesia, bukan hanya disebabkan bobroknya sistem birokrasi, namun juga karena sistem politik dan masyarakat penerima layanan publik itu sendiri.
Ketua Ombudsman Danang Girindrawardana mengatakan birokrasi bukan satu-satunya alasan buruknya layanan publik, namun juga dipengaruhi oleh sistem politik dan masyarakat penerima layanan publik. “Semua saling berkaitan. Mentalitas pelayanan publik dipengaruhi itu. Semua pihak pemerintahan harus mengubah perilakunya," ujar Ketua Ombudsman Danang Girindrawardana dalam sebuah acara di Jakarta, Sabtu (22/11)
Ia lantas memberi contoh saling keterkaitan di antara ketiga hal tersebut melalui sistem pernikahan di Islam. "Apa bener perilaku pungli diatur sendiri oleh petugas KUA. Kan ada masyarakan juga yang kasih ke KUA. Nah masyarakat ini termasuk pelaku pungli dan korupsi karena mereka memberikan diluar yang telah ditentukan," tuturnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Danang tak memungkiri bahwa pada saat ia menikah juga memberikan sejumlah uang kepada penghulu. Namun, itu dilakukannya jauh sebelum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeluarkan peraturan untuk tidak memberikan uang kepada pejabat dan aparatur negara.
"Dulu kan kita melihatnya sebagai bentuk terima kasih. Tapi hal seperti itu sudah tidak bisa dilakukan lagi, karena sudah peraturan KPK yang melarangnya. Ini dulu yang harus diubah," ujarnya.
Senada, Wakil Ketua Komisi X DPR Sohibul Iman mengatakan ketiga hal tersebut memiliki hubungan yang strategis berdasarkan teori institusi. Menurutnya, revolusi birokrasi yang akan meningkatkan kualitas layanan publik menjadi pekerjaan rumah bersama.
"Tiga institusi ini hidup dalam domain yang sama. Enggak mungkin yang satu baik, tapi yang lain bobrok. Kalau birokrasinya bobrok, ya private dan masyarakatnya juga acak kadut. Kalau mau memperbaiki, ini menjadi PR kita bersama," kata politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini, Sabtu (22/11).
Adapun Kepala Divisi Humas Kementerian Pendidikan dan Budaya Ibnu Hamad turut menekankan pentingnya peran serta masyarakat untuk mengubah birokrasi di Indonesia. Jika semua bekerja sama dengan baik, maka revolusi mental ini dapat tercapai. Menurutnya ada tiga ciri dari revolusi mental publik di birokrasi, yakni transparan, partisipatif, dan akuntabel.