Jakarta, CNN Indonesia --
Sejumlah aktivis yang tergabung dalam Gerakan Dekrit Rakyat Indonesia (GDRI) mengungkapkan tiga alasan yang membuat Jaksa Agung M Prasetyo diragukan kedudukannya. Di antara keraguan itu, GDRI menyebut Prasetyo tak memiliki intelektual yang tepat untuk dijadikan sebagai pemimpin Kejaksaan Agung. Pertama, GDRI menyatakan, publik meragukan kapabilitas Jaksa Agung M Prasetyo lewat tidak adanya catatan prestasi menarik yang diraih oleh Prasetyo selama berkarir di lingkungan kejaksaan sejak tahun 1973 silam.
"Dari tahun 1973, dia mengakhiri karirnya sebagai Jampidum (Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum) pada tahun 2005 hingga 2006. Selama itu dia tidak memiliki prestasi yang signifikan," ujar peneliti dari Indonesian Institute for Development and Democracy (INDED), Arief Susanto, dalam diskusi bertajuk 'Pak Jokowi Ikut Parpol Apa Nasib Gerakan Anti Mafia dan Korupsi?', di Jakarta, Minggu (23/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Arief mengatakan, mafia hukum di Indonesia memiliki pengacara-pengacara yang hebat. Menurutnya, pemimpin Kejaksaan Agung yang tidak mempunyai kapasitas intelektual yang kuat, dapat membuat pendidikan para jaksa melemah.
"Lemahnya dakwaan dapat dipengaruhi oleh lemahnya pendidikan para jaksa. Nah, Prasetyo tidak punya cukup kapasitas intelektual," kata Arief.
Alasan yang kedua, menurut Arief, yakni berkaitan dengan imparsialitas. Arief mengaku tak yakin Prasetyo mampu bersikap adil karena ada dua penyebab yang sangat mungkin dapat menyebabkan Prasetyo lemah dalam menunjukkan sikap tak berpihaknya.
"Pertama, putra Prasetyo juga seroang jaksa. Bagaimana mungkin dia akan memisahkan jaksa yang menjadi bawahan dia dan posisi jaksa sebagai putranya? Akan ada konflik kepentingan. Kedua, kasus Surya Paloh pada tahun 2008 yang tersangkut kredit macet. Apakah kasusnya akan dipetieskan atau dibawa lebih lanjut? Saya khawatir akan ada conflict of interest," katanya. Belum lagi, lanjut Arief, fakta bahwa satu dari sekian banyak korupsi di Indonesia adalah korupsi politik. "Jaksa agung itu sudah pasti harus bisa bersikap imparsial," ujar Arief.Terakhir, publik meragukan integritas yang dimiliki Prasetyo karena pemilihannya tidak melalui verifikasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan juga Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
"Jaksa ini sudah berkarir sejak 1973, artinya sebagian besar karirnya di Orde Baru. Apakah bersih dari jual beli perkara?" katanya.