Jakarta, CNN Indonesia -- Terpidana kasus korupsi rekapitulasi angka pembayaran uang pelayanan dan layanan pegawai Komisi Yudisial (KY) Al Jona Al Kautsar membeberkan modus korupsi lain dalam lembaga pengawas hakim tersebut.
Al Jona yang juga bekas pegawai KY itu mengatakan, salah satu modusnya adalah pengadaan kendaraan operasional. Padahal seharusnya bantuan kendaraan bermotor di KY tidak perlu ada. "Fasilitas yang didapat adalah kredit kendaraan berupa uang tunai," kata Al Jona usai sidang putusan kasusnya di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (24/11).
Namun faktanya, Al Jona menambahkan, ada kesan dipaksakan untuk pengadaan kendaraan. Jadi ada fasilitas dobel yang diterima yakni uang tunai untuk kredit kendaaraan dan fasilitas kendaraan operasional. Padahal menurutnya menerima keduanya bersamaan tidak diperbolehkan di lingkungan lembaga negara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, fasilitas kredit kendaraan berupa uang tunai memang digunakan untuk beli kendaraan, tapi faktanya wujud kendaraanya tidak ada. Bantuan operasional kendaraan menurut Al Jona hanya diberikan kepada komisioner saja.
Selain pengadaan kendaraan, modus lain yang digunakan menurut Al Jona adalah yakni kehabisan kas. Untuk menutupi kekurangan anggaran, dipinjamlah uang dari pihak ketiga, yakni rekanan KY. Rekanan KY itu adalah perusahaan yang kemudian diberi pekerjaan untuk mengganti pinjaman mereka. "Sudah saya ungkapkan di persidangan, penyidikan, pledoi juga, tapi belum ada tanggapan," kata Al Jona.
Al Jona sendiri sudah divonis lima tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor, Jakarta. Ia juga diminta membayar denda Rp250 juta subsider tiga bulan kurungan. Vonis tambahan untuk Al Jona adalah membayar uang pengganti Rp4,5 miliar.
Ia dijerat Pasal 3 juncto Pasal 18 ayat 1 huruf a UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Selama menjadi pegawai KY, Al Jona bertuguas membuat daftar gaji, tunjangan, honor pegawai, dan honor komisioner. Ia juga bertugas mengelola dan melakukan rekapitulasi pembayaran uang pelayanan pemeriksaan laporan pengaduan masyarakat (UPP), uang pelayanan sidang pembahasan laporan pengaduan masyarakat (UPS), uang layanan penanganan atau penyelesaian laporan masyarakat (ULP), dan uang layanan persidangan (ULS).
Namun, ia memanipulasi daftar tersebut sehingga mendapat keuntungan untuk dirinya sebesar Rp 4,5 miliar. Uang tersebut didapatnya dalam rentang bulan Mei 2009 hingga Maret 2013.