Jakarta, CNN Indonesia -- Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) bersama Inter-Agency Working Group National Risk Assessment (NRA) Indonesia tengah membuat penilaian terkait sistem keuangan nasional. PPATK memprioritaskan penilaian terhadap empat kejahatan utama yang menjadi ancaman dalam antipencucian uang.
Keempat kejahatan tersebut yaitu pidana korupsi, kejahatan narkotika, pidana penyelundupan, dan aspek pendanaan terorisme.
"Empat kejahatan itu merupakan ancama yang nyata yang kami lihat berdasarkan Laporan Hasil Analisis PPATK," kata Wakil Kepala PPATK Agus Santoso kepada CNN Indonesia, Senin (25/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Agus menjelaskan, pidana korupsi merupakan pidana asal tertinggi dari praktik cuci duit yang dilakukan para tersangka. Menyusul di posisi kedua adalah kejahatan narkotika yang kerap kali kedapatan mencuci duit untuk menyamarkan uang hasil kejahatan.
"Penyelundupan meliputi pembawaan uang tunai lintas batas baik rupiah maupun valas, penyelundupan bahan bakar minyak, isu lingkungan, penyelundupan kayu, pertambangan, mineral, ikan. Banyak sekali," ujar Agus.
Prioritas tersebut akan dimasukkan dalam NRA yang saat ini tengah disusun PPATK. Pembuatan NRA melibatkan seluruh pemangku kepentingan di antaranya seluruh lembaga penegak hukum, bea cukai, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia, serta regulator lainnya.
"Vocal point dalam penyusunan draf NRA adalah PPATK dan monitoring dilakukan UKP4 (Unit Kerja Presiden bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembagunan)," ujar Agus.
NRA akan masuk dalam salah satu strategi nasional untuk mewujudkan antikorupsi dan antipencucian uang dalam sistem keuangan nasional. Strategi nasional tersebut akan melawan 26 kejahatan yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Berdasarkan data PPATK, lembaga itu telah menyampaikan sebanyak 2.415 hasil analisis (HA) kepada penyidik kepolisian, kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi, Badan Narkotika Nasional, dan Direktorat Jenderal Pajak selama periode 2003-2013.
Periode Januari-November 2013 telah ada 265 HA yang terdiri dari 63 HA proaktif dan 202 HA reaktif. HA reaktif tersebut dibuat karena ada indikasi pencucian uang dan pidana asal yang telah disampaikan ke penyidik.
Dari 265 HA sepanjang tahun 2013 tersebut, sebanyak 153 HA berasal dari pidana korupsi, 35 HA penipuan, 10 HA penggelapan, dan delapan HA dengan pidana asal narkotika.