Jakarta, CNN Indonesia -- Aktivis penggiat hak-hak perempuan dan kesetaraan gender mendesak pemerintah merevisi peraturan serta kebijakan yang bisa menciptakan praktik kekerasan dan diskriminasi atas perempuan.
Desakan tersebut disampaikan dalam rangka peringatan Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, yang jatuh tepat pada Selasa (25/1) ini.
Dewi Haryani Susilastuti selaku pemerhati isu gender dan peneliti di Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada mengatakan praktik diskriminatif masih banyak ditemui dalam peraturan pemerintah. Salah satunya adalah tes keperawanan yang harus dijalani oleh calon polisi wanita (Polwan).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hal tersebut merupakan sesuatu yang ironis. Saat sebuah institusi yang salah satu mandatnya memberikan perlindungan atas perempuan malah melakukan praktif represif," kata Dewi melalui surat pernyataan yang dikirim ke CNN Indonesia, Selasa (25/11).
Lebih jauh lagi, Dewi mengatakan praktik tes keperawanan bisa menimbulkan trauma pada calon Polwan. Tak hanya itu, adanya praktik ini juga dinilai menunjukkan kerasnya budaya patriarki dan perendahan diri terhadap harkat perempuan.
Tak hanya PSKK UGM yang melayangkan kritik keras atas tindakan institusional kepolisian memberlakukan tes kesehatan pada Polwan, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Kekerasan (LBH APIK) juga memprotes cara rekrutmen tersebut.
Nursyahbani Katjsungkana selaku Koordinator Nasional LBH APIK mengatakan kebijakan dan praktik tes keperawan tersebut merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM), khususnya Konvensi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan.
"Kami menolak cara rekrutmen yang melanggar HAM seperti tes keperawanan meski atas alasan kesehatan sekalipun," ujar dia.
Nursyahbani kemudian mengatakan pihaknya mendukung pernyataan dari Komisi Kepolisian Nasional mengenai lebih perlunya kepolisian melihat kinerja Polwan alih-alih mempertanyakan moralitas seorang polisi.
"Tes keperawanan tidak ada hubungannya dengan kinerja yang sangat diharapkan masyarakat dari seorang Polwan," ujar dia.
Sementara itu, Andy Yentriyani selaku Komisioner dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyampaikan pihaknya menyesalkan masih terjadinya praktik tes keperawanan di institusi kepolisian sebagai bagian dari tes kesehatan calon anggota Polwan.
"Tes keperawanan merupakan tindak serangan seksual yang merendahkan derajat manusia dan diskriminatif terhadap perempuan," kata dia.
Lebih jauh lagi, dia mengatakan praktik tes keperawanan dalam lembaga pemerintahan hanya dilatari oleh prasangka berbasis gender dan pengkategorisasian perempuan menjadi 'perempuan baik-baik' dan 'perempuan nakal'.
"Stigma 'perempuan nakal' sangat kuat di tengah aparat terutama kalangan yang kurang punya empati pada perempuan korban perkosaan dan eksploitasi seksual," ujar dia.