Jakarta, CNN Indonesia -- Aktivis mengkritik langkah pemerintah dalam menangani banjir dengan melakukan normalisasi sungai Ciliwung yang dinilai bisa merusak lingkungan. Mereka juga mengatakan program normalisasi belum memiliki Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL).
Hal tersebut disampaikan oleh Sahroel Polontalo dari Tim Pengendalian Banjir Komunitas Ciliwung dalam acara Konsolidasi Nasional Organisasi Masyarakat Peduli Sumber Daya Alam dan Lingkungan di Jakarta, pada Senin sore. (24/11).
Lebih jauh lagi, Sahroel mengatakan
program normalisasi Sungai Ciliwung yang menggunakan bahan beton dan pemasangan
sheet field dinilai bisa merusak keanekaragaman hayati.
"Beton itu memisahkan zona ecoton, yakni daratan dan perairan, yang kaya keanekaragaman hayati," kata dia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemasangan beton di tepi palung sungai, katanya, bisa menyebabkan putusnya ekosistem antara sempadan dan palung sungai. Alhasil fungsi sempadan yang sedianya menjadi tempat vegetasi alami berubah menjadi bagian jalan.
"Perubahan ini menghilangkan fungsi sempadan untuk menyerap polutan sebelum masuk ke sungai," kata dia.
Sahroel menilai perubahan fungsi sempadan melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN). Dalam peraturan tersebut dinyatakan sempadan merupakan kawasan lindung yang harus tetap alami.
"Oleh pemerintah ini dibuat jalan untuk menambah luas jalan atasi kemacetan. Hilang semua fungsinya," kata dia.
Restorasi SungaiSahroel mengatakan untuk mengatasi persoalan banjir pemerintah sebaiknya melakukan restorasi sungai, hal yang menjadi tren dunia saat ini.
Restorasi sungai meliputi pengembalian fungsi alami atau renaturalisasi sungai yang sudah terdegradasi oleh kepentingan manusia. Restorasi sungai-sungai sudah dilakukan oleh negara seperti Jerman, China, Korea, Jepang dan Australia.
"Kalau di luar negeri, sungai yang udah dibeton dibongkar, lalu dikembalikan lagi vegetasi alaminya. Kita, yang alami mau dibongkar, lalu dibeton," ujar Sahroel.
Sahroel kemudian mengatakan sebenarnya ada cara lain untuk mengurangi air yang masuk ke sungai tanpa harus merusaknya. Cara tersebut antara lain pembuatan biopori, sumur resapan, bioretensi atau sumur resapan menggunakan tanaman, pembuatan bak penampungan air hujan, kolam retensi, embung dan waduk.
"Sayangnya dana untuk melakukan itu timpang sekali dibandingkan dana untuk melakukan
normalisasi, sodetan, pembuatan pintu air yang mencapai Rp 5,4 triliun," kata dia.
Belum Kantongi AMDAL
Selain dinilai merusak ekosistem, Sahroel juga mengungkapkan proyek normalisasi Ciliwung belum mengantongi Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL).
"Kontraknya sudah. Mobilisasi ke lapangan sudah. Mulai keruk-keruk sudah dan sudah kerja di lapangan. Amdalnya belum ada," ujar Sahroel.
Melihat kenyataan tersebut, pihaknya kemudian mengajukan gugatan atas SK Gubernur yang menetapkan lokasi normalisasi sungai di DKI Jakarta.
"Dengan SK itu Kementerian Pekerjaan Umum bisa kerjakan normalisasi. Kita berharap kalau kita gugat itu karena belum ada AMDAL bisa. Tapi ternyata ditolak karena kadaluwarsa gugatan kita," ujar dia.
Menanggapi hal tersebut, Deputi Bidang Komunikasi Lingkungan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Lingkungan Hidup, Ilyas Asaad, mengungkapkan bahwa pihaknya berencana untuk merevisi kebijakan terkait AMDAL.
"Problem AMDAL ini banyak. Saya setuju AMDAL ini perlu di review. Kita suka mengagung-agungkan AMDAL tapi di lapangan kawan-kawan di masyarakat hampir tidak terlibat. Kalaupun terlibat itu orang-orang tertentu yang berpihak pada perusahaan," kata Ilyas.