Jakarta, CNN Indonesia -- Pembebasan bersyarat Pollycarpus Budihari Priyanto, terpidana kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia Munir Said Thalib, dianggap telah memenuhi peraturan perundang-undangan. Anggota Komisi Hukum DPR RI periode 2009-2014 Ahmad Yani justru heran dengan para aktivis HAM yang kecewa dengan pembebasan bersyarat tersebut.
"Suka atau tidak suka, harus kita terima putusan itu. Menurut saya saat itu layaknya pengadilan menghukum mati (Pollyarpus), tapi aktivis HAM kan menolak hukuman mati," kata Yani kepada CNN Indonesia, Senin (1/12).
Menurut Yani, ketentuan yang berlaku di Indonesia saat ini memang memberikan sejumlah hak kepada para terpidana, termasuk pembebasan bersyarat yang diterima Pollycarpus. Dari segi ketentuan tersebut, tidak ada pelanggaran yang dilakukan Polly kecuali jika dalam proses pemberian pembebasan bersyarat ada hal yang tidak terpenuhi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau dari cara pandang normatif, tidak ada masalah. Dalam konteks Pollycarpus sudah final," ujar Yani.
Politisi Partai Persatuan Pembangunan itu mengomentari kekecewaan para aktivis HAM terhadap pembebasan bersyarakat Pollycarpus karena kasus Munir belum tuntas. Yani menjelaskan, keterlibatan pihak lain tidak bisa dikaitkan dengan hukuman dan hak Pollycarpus sebagai narapidana.
"Kalau mau melihat apakah Polly aktor intelektual atau hanya aktor di lapangan, silakan diproses. Tapi ada pihak lain atau tidak, tidak terkait putusan Polly atau pembebasan bersyaratnya," tutur Yani.
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai Surat Keputusan Menteri Hukum dan HAM Indonesia Nomor W11.PK.01.05.06-0028 Tahun 2014 tanggal 13 November 2014 tentang Pollycarpus hanya melihat dari aspek yuridis pemberian hak narapidana semata.
KontraS mengecam keras pemberian pembebasan bersyarat Pollycarpus. Bagi KontraS, pembebasan bersyarat tersebut merupakan sinyal bahaya terhadap penuntasan kasus pembunuhan Munir, juga perlindungan HAM pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini.