Jakarta, CNN Indonesia -- Aktivis penggiat isu perempuan dan kesetaraan gender mengatakan wacana pengurangan jam kerja bagi perempuan penuh dengan nuansa politis. Perwujudan gagasan tersebut dinilai hanya akan melahirkan produk hukum diskriminatif.
“Ini merupakan wacana kebijakan yang salah. Apa pesan yang ingin diberikan pemerintah kepada anak-anak perempuan atas kebijakan ini,” kata Pendiri Jurnal Perempuan dan Pengajar Filsafat-Feminisme Universitas Indonesia Gadis Arivia dalam konferensi pers di Kantor Jurnal Perempuan, Kamis (4/12).
Wacana kebijakan pengurangan jam kerja perempuan dilontarkan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla pada Rabu (26/11). Menurut ketua Persatuan Umat Islam (PUI) Nurhasan Zaidi dalam pertemuannya dengan Wakil Presiden, JK mengusulkan satu jam sebelum masuk kantor dikurangi dan pulangnya juga lebih dipercepat satu jam bagi perempuan.
Menurut JK, wanita yang aktif sebagai pegawai negeri atau swasta butuh pengurangan jam kerja karena memiliki kewajiban menyiapkan anak bangsa ke depan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pernyataan JK tersebut merupakan buah dari gagasan yang dilontarkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). KPAI menilai minimnya waktu perempuan di rumah berkontribusi kepada tingginya angka perceraian di Indonesia. Akibatnya, anak menjadi korbannya. Selain meminta pengurangan jam kerja, KPAI juga melontarkan gagasan pengurangan cuti lahir bagi perempuan hingga satu tahun lamanya.
Gayung bersambut, wacana yang dikeluarkan KPAI dan didukung Wakil Presiden juga mendapatkan dukungan dari Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri serta Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi.
Gadis mengatakan implikasi dari wacana tersebut sangat besar seperti akan semakin sedikit perempuan yang mempekerjakan perempuan karena dianggap tidak efektif.
Dia juga menyampaikan semestinya perihal mengurus anak tidak hanya diurus oleh kebijakan. Pemerintah semestinya bisa menyediakan fasilitas seperti ruang pengasuhan anak untuk mendukung produktifitas.
Sementara itu, Melli Darsa selaku Ketua Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Indonesia (ILUNI UI) mengatakan pengurangan jam kerja bukan solusi dari persoalan rumah tangga ataupun anak.
“Wacana ini tidak berdasarkan data dan kerap bernuansa politis sehingga melahirkan peraturan hukum yang diskriminatif,” ujar dia.
Oleh karena itu, pihaknya mendesak pemerintahan Jokowi-JK untuk menghentikan wacana pengurangan jam kerja bagi perempuan yang dinilai penuh muatan politis. “Pemerintah harus berhenti mengulangi kesalahan yang lalu dengan membuat konsep hukum yang menimbulkan permasalahan di masyarakat,” ujar dia.