KORUPSI BUPATI

Korupsi Bupati Terjadi Akibat Minimnya Pengawasan Pemerintah

CNN Indonesia
Jumat, 05 Des 2014 08:26 WIB
Korupsi dan manipulasi oleh Bupati dinilai sering terjadi karena pemberian kewenangan yang terlalu besar kepada pemerintah daerah.
Mantan Bupati Bangkalan yang juga Ketua DPRD Bangkalan Fuad Amin Imron (tengah) keluar dari gedung Komisi Pemberantasan Korupsi mengenakan baju tahanan, Jakarta, Selasa (2/12). Fuad resmi menjadi tersangka dan ditahan KPK dalam kasus dugaan suap terkait jual beli pasokan gas alam untuk pembangkit listrik di Gresik dan Gili Timur, Bangkalan, Madura, Jawa Timur. (ANTARAFOTO/Fanny Octavianus)
Jakarta, CNN Indonesia -- Penangkapan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bangkalan, Madura, Fuad Amin Imron, pada Selasa (2/12) dini hari lalu, dinilai oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) atau Senator DPD RI sebagai bukti yang kian menguatkan masifnya korupsi di daerah.

Anggota DPD Fahira Idris mengatakan ada indikasi korupsi terjadi karena kewenangan yang terlalu besar diberikan pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Hal itu, menurutnya, kerap dimanfaatkan oknum pejabat di daerah untuk berbuat curang demi kelanggengan kekuasaan.

"Kewenangan besar yang diperoleh daerah saat ini, tujuannya agar daerah bisa lebih cepat membuat kehidupan masyarakat lebih baik. Namun yang terjadi, banyak pejabat daerah yang malah memanipulasi kewenangan untuk mengisi pundi-pundinya," ujar Fahira di komplek Parlemen, Senayan, Jakarta (4/12).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dia memaparkan, dari data yang dimilikinya sejak 2005 hingga November 2014 tercatat sebanyak 248 kepala daerah tersangkut kasus korupsi. Angka tersebut didominasi oleh para bupati. "Belum lagi kalau kita bicara anggota DPRD (yang tersangkut kasus korupsi). Jumlahnya pasti lebih banyak,” ujar Senator asal DKI Jakarta ini.

Fahira yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Komite III DPD mengungkapkan kebanyakan kepala daerah memanipulasi jabatan untuk ‘mengobral’ berbagai perizinan, terutama yang terkait dengan pertambangan dan kehutanan. Dua jenis perizinan ini, menurut Fahira, menjadi ladang korupsi di daerah.

"Pengawasan Pemerintah Pusat yang minim, ditambah civil society di daerah yang belum kuat, membuat tidak ada yang mengawasi tindak-tanduk para pejabat di daerah," katanya.

Karena itu, Fahira mengatakan, klausul yang tercantum dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang baru (Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014), yang menyebutkan kewenangan yang sifatnya perizinan, khususnya yang terkait ekologis seperti pertambangan dan kehutanan tidak lagi ada di kabupaten dan kota, tetapi ditarik ke provinsi adalah langkah yang sangat tepat.

"Karena artinya, Pemerintah Pusat dan civil society akan lebih mudah mengawasi 34 gubernur dari pada mengawasi 500-an lebih bupati atau walikota,” kata Fahira.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER